Oleh : Yance Christy
Pendahuluan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebenarnya menjadi
masalah banyak Negara dan bukan sesuatu fenomena baru pula dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Praktik tidak terpuji itu sudah hadir sejak bangsa Indonesia
telah menjadi satu bangsa yang merdeka dan berdaulat. Pada awal kemerdekaan,
sudah dikenal istilah kong kali kong atau TST (Tahu Sama Tahu)
yang artinya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan dalam praktik
korupsi. Pada masa itu sudah terdapat beberapa pejabat Negara yang ditengarai
dan bahkan diadili karena terlibat dalam korupsi (Raharjo, 1999). Namun, virus
praktik yang merisaukan itu semakin meluas sepanjang pemerintahan Orde Baru,
dan nampaknya masih berlangsung sampai saat ini. Dengan meluasnya gejala virus
korupsi itu Bung Hatta, Proklamator dan mantan Wakil Presiden RI, setuju dengan
pendapat Suhartini, seorang Dosen Universitas Gadjah Mada, bahwa korupsi telah
menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia (Noer, 1990). Begitu
membudayanya praktik korupsi itu sampai-sampai sebuah media internasional
menempatkan Indonesia sebagai Negara yang paling korupsi di Asia (Muhammad,
1999).
Terobosan-terobosan besar dilakukan oleh Negara ini untuk
memberantas korupsi (KKN). Mulai dari pembuatan Undang-Undang Anti Korupsi
hingga pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masyarakat juga
diberikan akses informasi yang cukup tentang transparansi kebijakan - kebijakan
birokrasi pemerintahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pehimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) juga tumbuh berkembang dan
diharapkan mampu untuk menekan seminimal mungkin terjadinya tindak KKN. Namun,
jamur KKN belum juga musnah. Indonesia seakan menjadi lingkungan/habitat yang
baik untuk pertumbuhan virus KKN. KKN telah menjadi bagian budaya Indonesia.
Mengapa Terjadi Budaya KKN Di Indonesia ?
Tidak mudah memang untuk menjawab pertanyaan itu dengan ringkas,
karena masalah ini menyangkut semua dimensi kehidupan bangsa, baik ekonomi,
politik, sosial, budaya dan sebagainya. Pembacaan sementara terhadap maraknya
praktik korupsi di Indonesia dapat terpetakan dalam dua Faktor. Pertama,
dari sudut internal pelaku korupsi itu sendiri. Ada keyakinan bahwa praktik itu
didorong oleh rendahnya gaji pegawai negeri. Pada awal kemerdekaan, Bung Hatta
telah mengingatkan bagaimana pentingnya memberikan gaji yang memadai kepada
pegawai negeri, agar mereka dapat hidup berkecukupan dan tidak terjerembab
untuk melakukan korupsi (Noer, 1990). Namun, cukup atau tidaknya gaji
tergantung pada mentalitas dan gaya hidup seseorang, sehingga factor paling
menentukan sebenarnya adalah rasa tidak puas dan selalu kekurangan. Mereka yang
mudah terjerumus pada praktik itu adalah mereka yang memiliki mentalitas yang
"selalu merasa kekurangan" (unsatiable mentality) Kedua,
Faktor (Eksternal) sosio-kultural bangsa yang berada di luar diri pelaku
korupsi. Diantaranya adalah factor beban cultural (cultural burden) yang
membebani pundak banyak orang terutama para aparat pemerintah. Lompatan
struktur jabatan akibat kondisi transisional yang sedang dihadapi para aparat
Negara. Faktor ini seringkali nampak pada "aparat-aparat baru “ ataupun
" aparat naik jabatan". Ada semacarn shock culture dalam
mental aparat dalarn masa transisional, sepertinya ada tuntutan untuk dapat
memenuhi standar symbol- simbol kehidupan tertentu sesuai dengan tuntutan
profesi. Selain itu juga, niaraknya budaya konsumtif dalam realitas budaya
masyarakat Indonesia. Kebijakan pembangunan yang relative terbuka (di jaman
pemerintahan Orde Baru) telah menyediakan peluang baru bagi masuknya pelbagai
produk industri dari Negara-negara maju ke tengah denyut jantung kehidupan
masyarakat. Walaupun sebagian besar produk itu baru dapat dikonsumsi oleh
masyarakat perkotaan, tetapi corak kehidupan baru telah mengalir ke
relung-relung kehidupan masyarakat pedesaan. McDonalisasi pasar
Indonesia, demikian kira - kira symbol penjajahan ekonomi modern Negara-negara
kapitalis. Telah terjadi babak baru negeri ini, sebuah pola budaya baru
terbentuk yang disebut dengan consumer culture (Featherstone, 1991).
Faktor selanjutnya, sebagai akibat dari budaya konsumen,
Gengsi dan Gaya hidup mewah. Media informasi dan hiburan telah menjadi single
actor dan terbesar dalarn mempengaruhi budaya gengsi plus hidup mewah
masyarakat desa. Sinetron-sinetron dan tayangan televisi telah membius para
kaum muda dengan segala hedonisme yang meliurkan lidah. Tayangan-tayangan
kehidupan yang serba gampang, enak dan hanya mempersoalkan tentang percintaan
telah mengalihkan perhatian dan simpati kaum muda terhadap, persoalan pelik
yang dihadapi Negara. Dialog dan Diskusi tokoh tentang persoalan Negara actual
telah tergeser oleh sinetron-sinetron ataupun oleh tayangan selebritis papan
atas. Bahkan para Anggota legislative pun mulai enggan untuk melihat dan
mendengarkan pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia. Sungguh transisi
budaya`yang sangat cepat. Hidup mewah dan rasa gengsi menyebabkan masyarakat
akan selalu merasa kekurangan, sehingga mereka membutuhkan dana tambahan yang
tidak lain diperoleh melalui praktik korupsi (KKN). Inilah actor yang akan
mengakhiri kejayaan sebuah bangsa dari masa keemasannya,.
Wilayah Kerja Dan Fungsi Pehimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI) Dalam Mengikis Praktik KKN
Pehimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)
sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan realita masyarakat di level grass
root, dituntut harus mampu melakukan pembacaan, memberikan pernahaman serta
melakukan pendampingan dari perilaku dan ancaman yang akan menghegemoni
masyarakatnya, baik secara fisik maupun pernikiran. Sebab sebagai sebuah
lembaga yang berada di tengah-tengah antara penguasa (dalarn hal ini pemerintah
dan lembaga public service lainnya) di satu sisi dan rakyat (masyarakat
ataupun anggotanya) di sisi lain, Pehimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI) harus mampu menjadi lidah penyambung antara dua sisi yang
sangat rentan terjadi konflik kepentingan. Sebagai lembaga yang berada di
tengah-tengah (penyeimbang dari tindakan penguasa yang lebih superior di
hadapan rakyat), Pehimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) harus
bersikap sebagai pihak yang independent, bukan malah memposisikan diri sebagai
pembela rakyat maupun penguasa. Walaupun dalam banyak kasus rakyat selalu
menjadi obyek derita dari kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa, namun ada
juga rakyat yang secara semena-mena telah melakukan pengrusakan terhadap
lingkungan hidup, misalnya, sehingga perlu diadakan pembinaan dan penyadaran
kolektif masyarakat. Namun dalam kasus Korupsi, jelas Pehimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI) akan menjadi pelindung rakyat.
Ada beberapa langkah yang dapat dilaksanakan Pehimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) baik secara langsung bersarna-sama
masyarakat ataupun melalui Birokrasi Pemerintahan yang terkait untuk mengikis
habis praktik KKN dalarn kehidupan masyarakat.
® Esensial
; Niat untuk menanggulangi korupsi harus menjadi tujuan bersama dari
segenap komponen masyarakat. Artinya dengan niat suci ada semangat dan
keberanian untuk mengambil resiko apapun yang tidak mudah dihadapi, terutama di
kalangan elite baru kemudian upaya yang lebih strategis dapat dilakukan. Hal
ini bisa dilakukan dengan kampanye serta aksi solidaritas dlm skala nasional
baik lewat mass media maupun dialog dan seminar.
® Ideal ;
Langkah ideal adalah upaya jangka panjang yang berkelanjutan, yaitu
menanamkan nilai budaya dan moralitas kepada masyarakat,terutama generasi muda,
untuk meyakini bahwa praktik korupsi itu adalah sesuatu yang buruk dan jahat,
baik bagi diri sendiri maupun masyarakat dan Negara. Upaya ini dapat dilakukan
lewat pendidikan moral baik di tingkat masyarakat ataupun di kalangan birokrat.
® Strategis
; Langkah ini dilakukan dengan upaya keras untuk menutup semua lubang dan
kesempatan bagaimanapun kecilnya, yang memungkinkan digunakan untuk
berlangsungnya praktik korupsi. Menegakkan kepastian hukum tanpa diskriminatif,
optimalisasi lembaga pemberantasan korupsi menutup celah-celah penyimpangan
& kesalahan interpretasi UU. (hukum) sehingga substansi hukum tidak dapat
dipermainkan lagi oleh para lawyer.
Ada banyak teori tentang bagaimana membangun perencanaan
strategis, langkah taktis serta manajerial issue dan komunikasi massa yang
harus dilakukan oleh Pehimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)
agar misi dan target dapat tercapai. Namun yang paling penting, dalam
mengaplikasikan segala teorinya tersebut, mulai dari Advokasi, MoU, class
action dan lain sebagainya, seharusnya lebih ditujukan untuk meningkatkan
nalar kritis (memberdayakan masyarakat) dengan meningkatkan keberanian
masyarakat untuk berbicara dalam lingkaran struktur kekuasaan. Sehingga pada
saat Pehimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) tersebut lepas
dari satu lembaga etalase dan beralih membina lembaga etalase yang lain, yang
terjadi adalah pemberdayaan masyarakat. Ketergantungan masyarakat grass root
kepada sebuah lembaga Pehimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)
menjadi hilang dan keberanian untuk berbicara dalam struktur politik dapat
muncul.
PENUTUP
Korupsi di Indonesia telah menjadi bagian dari budaya
bangsa, sehingga budaya haruslah dilawan dengan budaya baru. Pehimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) harus dapat membuat dan
mendeklarasikan budaya baru (minimal membongkar budaya tersebut) yang lebih
membawa masyarakat ke jenjang kehidupan yang lebih baik. Tutup seluruh celah
dan peluang terjadinya praktik korupsi serta bersilhkan sedikit demi sedikit
para oknum birokrasi dari budaya korupsi. Selamatkan mereka dari budaya yang
salah dan menjerumuskan rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga
menjadi para birokrat yang bersih dan bebas dari KKN.
Featherstone, Mike, 1991. Consumer
Culture and Posmoderism. London: Sage Pubication.
Muhammad, Mar’ie, 1999.”Korupsi,
Kolusi dan Nepoteisme (KKN) dalam Birokrasi”, dalam Edy Suandi Hamid
dan Muhammad Sayuti (ed), Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme di
Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, hal 65-73
Noer, Deliar, 1990. Mohammad
Hatta: Biografi Politik. Jakarta: LP3ES
Raharjo, M. Dawam, 1999. Korupsi,
Kolusi dan Nepoteisme (KKN) : Kajian Konseptual dan Kultural,dalam Edy
Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed), Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme di
Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, hal 19-32.