Hukuman Mati dan Ajaran Gereja
Pada bulan Juni 1997, juri menyatakan Timothy McVeigh bersalah atas
pengeboman Oklahoma City dan ia dijatuhi hukuman mati. Sebenarnya ia telah
dieksekusi pada tanggal 16 Mei 2001 yang lalu, tetapi karena FBI menemukan dokumen-dokumen
baru, eksekusi ditunda. Sepanjang masa itu, saya membaca dan juga mendengar
banyak pernyataan pro dan kontra mengenai hukuman mati. Bagaimana sebenarnya
ajaran Gereja mengenai hukuman mati?
~ seorang pembaca di Springfield
Masalah hukuman mati sungguh merupakan suatu topik yang tak
henti-hentinya diperdebatkan di seluruh dunia. Bagi umat Katolik, masalah ini
terlebih lagi problematis oleh karena ajaran Gereja mengenai kekudusan hidup
manusia dan martabat manusia, yang sepintas lalu tampaknya menentang tindakan
mengakhiri hidup manusia. Namun demikian, hak untuk hidup merupakan dasar dari
kewajiban untuk melindungi serta memelihara hidup diri sendiri, “Cinta kepada
diri sendiri merupakan dasar ajaran susila. Dengan demikian adalah sah
menuntut haknya atas kehidupannya sendiri. Siapa yang membela kehidupannya,
tidak bersalah karena pembunuhan, juga apabila ia terpaksa menangkis
penyerangannya dengan satu pukulan yang mematikan” (Katekismus Gereja Katolik,
No. 2264).
Prinsip yang sama berlaku pula bagi negara dalam melaksanakan
kewajibannya. Pertama, negara memiliki kewajiban untuk menjaga keselamatan
orang banyak dan melindungi warganya dari malapetaka. Sebab itu, negara dapat
menyatakan dan memaklumkan perang melawan penyerang dari luar komunitasnya sama
seperti individu memiliki hak yang sah untuk mempertahankan diri.
Kedua, negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menjatuhkan hukuman yang
adil kepada individu-individu yang melakukan tindak kejahatan dan mengancam
kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, keadilan menuntut bahwa suatu hukuman
haruslah sepadan dengan kejahatan - hukuman harus proporsional dengan luka yang
diakibatkan kejahatan. Hukuman yang demikian tidak hanya sekedar “mata ganti
mata, gigi ganti gigi”; tetapi, suatu hukuman yang adil berusaha memulihkan
keadaan damai yang terluka oleh kejahatan. Dengan demikian, hukuman menuntut
ganti rugi yang sepadan, tindak pencegahan dan perbaikan diri.
Sebagai bentuk ganti rugi, hukuman secara khusus memulihkan kembali tata
keadilan yang telah dilanggar oleh pelaku kejahatan. Sebagai contoh, jika
pelaku kejahatan mencuri sesuatu, maka harus diberikan ganti rugi, misalnya
dengan mengembalikan barang yang dicuri atau melakukan bentuk pembayaran
lainnya. Pelaku juga dapat dikenai sanksi pencabutan atas hak-hak tertentu,
misalnya dengan kurungan atau denda. Ganti rugi yang adil berusaha menyembuhkan
luka yang diakibatkan oleh kejahatan dan mengembalikan tata keadilan.
Sejalan dengan pemikiran ini, hukuman sepatutnya mencegah terjadinya
kejahatan di masa mendatang. Jika keadilan dilaksanakan dengan adil dan segera,
maka hukuman tertentu untuk tindak kejahatan tertentu seharusnya mencegah
terjadinya kejahatan di masa mendatang baik oleh pelaku kejahatan itu sendiri
maupun orang lain. Hukuman seharusnya tidak hanya sekedar melindungi masyarakat
dari suatu tindak kejahatan tertentu, melainkan juga menjauhkan pelaku
kejahatan dari tindak kejahatan yang sama di masa mendatang.
Pada akhirnya, hukuman yang dijatuhkan atas seorang pelaku kejahatan haruslah
membangkitkan motivasi dalam dirinya untuk memperbaiki diri. Penjahat yang
dijatuhi hukuman diharapkan tergerak untuk melihat jalannya yang salah,
bertobat dan kemudian mengubah hidupnya.
Hukuman yang adil berusaha menyeimbangkan ketiga perspektif ini: ganti
rugi, pencegahan dan perbaikan diri. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam
menerapkan hukuman yang demikian, negara harus menjamin sebaik mungkin bahwa
terdakwa diadili dengan adil dan bahwa hanya otoritas yang sah saja yang dapat
menjatuhkan sanksi.
Sesuai dengan cara pandang ini, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan,
“Pembelaan kesejahteraan umum masyarakat menuntut agar penyerang dihalangi
untuk menyebabkan kerugian. Karena alasan ini, maka ajaran Gereja sepanjang
sejarah mengakui keabsahan hak dan kewajiban dari kekuasaan politik yang sah,
menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan, tanpa
mengecualikan hukuman mati dalam kejadian-kejadian yang serius” (No. 2266).
Dalam pernyataan ini, Katekismus mengakui bahwa pelaksanaan hukuman mati
merupakan bagian dari “ajaran turun-temurun Gereja,” seperti dibuktikan,
terutama sekali, dalam Kitab Suci. Sebagai contoh, hukum Perjanjian Lama
mengijinkan pelaksanaan hukuman mati untuk dosa-dosa berat: “Siapa yang
menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah
membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Kej 9:6) dan “Siapa
yang memukul seseorang, sehingga mati, pastilah ia dihukum mati. Apabila
seseorang berlaku angkara terhadap sesamanya, hingga ia membunuhnya dengan tipu
daya, maka engkau harus mengambil orang itu dari mezbah-Ku, supaya ia mati
dibunuh” (Kel 21:12, 14).
Tetapi, kejahatan berat dalam Perjanjian Lama meliputi bukan hanya
pembunuhan yang direncanakan, melainkan juga penculikan, tindakan mengutuk atau
memukul orangtua, sihir, sodomi, tindakan biadab, dan penyembahan berhala.
Dosa-dosa demikian teramat keji dalam pandangan Tuhan dan amat membahayakan
baik kesejahteraan rohani maupun kesejahteraan jasmani masyarakat hingga
keadilan mengamanatkan hukuman mati sebagai ganjaran yang setimpal. Tata
keadilan hanya dapat dipulihkan kembali melalui hukuman mati terhadap pelaku
kejahatan.
Perlu diingat bahwa meski Perjanjian Lama mencatat daftar berbagai
kejahatan berat, namun demikian Perjanjian Lama sungguh berbicara mengenai
belas kasih Allah. “Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku
tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada
pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup” (Yeh 33:11). “Supaya
ia hidup” walau pernyataan itu mungkin tidak terlalu dititik-beratkan pada
hidup jasmani, melainkan lebih pada hidup rohani, yaitu agar orang berdosa yang
bertobat dapat terhindar dari hukuman abadi di neraka. Di samping itu,
pengamalan belas kasih haruslah menjamin pulihnya kembali kedamaian, sebab
tidak akan ada belas kasih apabila masyarakat hidup dalam ketakutan karena
seorang penjahat besar yang tak bertobat.
Patut disimak juga bahwa Pontius Pilatus memaklumkan hukuman mati atas
Tuhan kita dan memerintahkan penyaliban-Nya. Tetapi, tak didapati di mana pun
dalam Perjanjian Baru hak negara untuk menjatuhkan hukuman mati atas seorang
penjahat.
Dalam mencermati ayat-ayat di atas, walau tak banyak, orang jangan lupa
bertanya apakah tujuan dan kewajiban negara untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan-kejahatan yang demikian dan dari para pelaku tindak kejahatan yang
demikian itu dapat dilaksanakan pada masa kini dengan cara yang berbeda, tetapi
dengan suatu cara yang menghasilkan hasil akhir yang sama? Dapatkah negara
menjunjung tinggi hukum, menguasai penjahat, melindungi masyarakat, memulihkan
keadilan dan mencegah kejahatan di masa mendatang, tetapi dengan menghindarkan
hukuman mati?
Lebih jauh St Thomas Aquinas menguraikan hak negara dalam menjatuhkan hukuman mati kepada seorang
penjahat. Demi melindungi masyarakat, hukuman mati dapat dilaksanakan guna
menghukum “sampar masyarakat,” yaitu orang-orang yang dengan bebas dan sukarela
memilih untuk melakukan suatu tindak kejahatan berat. St Thomas Aquinas
menegaskan bahwa melalui dosa, manusia menyimpang dari akal budinya dan jatuh
dari martabatnya sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar dan citra
Allah. Beberapa tindak kejahatan begitu brutal hingga orang bertanya, “Manusia
macam apakah yang dapat melakukan tindak kejahatan demikian itu?” Seorang yang
melakukan suatu tindak kejahatan yang berat, menurut St Thomas, bahkan lebih
mengerikan daripada bintang buas yang ganas dan bahkan jauh lebih berbahaya
dari itu, sebab ia dapat merusak individu-individu lainnya dan mencelakai
masyarakat. Terkadang, beberapa individu telah begitu dipenuhi kejahatan, buta
akan kebenaran dan kebajikan, dan tanpa penyesalan atas tindak kejahatan yang
mereka lakukan, hingga, seperti dikemukakan St Thomas Aquinas, mereka harus
disingkirkan secara permanen dari masyarakat. Sama seperti suatu organ yang
terinfeksi atau terjangkit penyakit menular harus dibuang demi memelihara
kesehatan seluruh tubuh, demikian pula seorang yang berbahaya atau merupakan
sampar masyarakat dapat dieksekusi daripada merusakkan atau mendatangkan celaka
bagi masyarakat. (Cf Summa Theologiae, II-II, 64, 1.)
Di sini, St Thomas Aquinas membuat pembedaan penting antara “sampar
masyarakat” dengan “seorang yang tak bersalah,” dan pembedaan ini terus
berlanjut dalam ajaran Katolik yang sekarang. Kehidupan manusia adalah sungguh
kudus dalam segala bentuknya dan dalam segala masa; seorang manusia yang tak
bersalah memiliki hak yang kudus dan tak dapat diganggu gugat untuk hidup.
Gereja dengan cermat menggaris-bawahi hak yang tak dapat diganggu gugat dari
“kehidupan yang tak bersalah” ini. Dalam Declaratio de Euthanasia (1980) Gereja
menegaskan, “Harus ditandaskan sekali lagi bahwa tak sesuatupun dan tak seorang
pun dapat memberi hak mematikan manusia yang tak bersalah, entah menyangkut
fetus atau embrio, anak atau orang dewasa, orang lanjut usia, orang sakit yang
tak tersembuhkan atau orang yang sedang akan meninggal.” Dalam Declaratio de
abortu procurator (1974) Gereja memaklumkan, “Hukum ilahi dan akalbudi kodrati
dengan demikian menyisihkan hak untuk direk membunuh manusia yang tak
bersalah.” Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Evangelium Vitae
menyatakan, “kami meneguhkan bahwa pembunuhan langsung dan sengaja manusia yang
tak bersalah selalu merupakan pelanggaran moril yang berat” (No. 57).
Katekismus Gereja Katolik, dengan mengutip “Donum vitae,” mengajarkan, “Hanya
Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir: tidak ada seorang pun
boleh berpretensi mempunyai hak, dalam keadaan mana pun, untuk mengakhiri
secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah” (No. 2258).
Tetapi, dalam tradisi ajaran Gereja, apabila seseorang secara sukarela
dan bebas melakukan suatu tindak kejahatan yang berat, ia tak lagi dapat
dianggap sebagai `seorang yang tak bersalah,' melainkan sebagai “seorang
penyerang yang tidak adil.” Apabila ia dinilai sebagai ancaman bagi masyarakat
secara keseluruhan, ia dapat dijatuhi hukuman penjara, dan bagi tindak
kejahatan yang sungguh teramat berat, ia dapat dicabut hak hidupnya dalam
masyarakat ini, pada masa ini, pada waktu ini, dan dieksekusi. Sama seperti
seseorang berhak mengakhiri hidup orang lain sebagai upaya terakhir untuk
melindingi hidupnya sendiri atau hidup orang lain, sama seperti negara berhak
memaklumkan perang sebagai upaya terakhir untuk melindungi diri, demikian pula
negara, sebagai upaya terakhir (“satu-satunya cara yang mungkin”), berhak
malaksanakan hukuman mati untuk melindungi warganya dari penyerang yang tidak
adil.
St Thomas juga mengajukan argumentasi bahwa hukuman mati dapat dipergunakan
pula untuk mencegah tindak kejahatan di masa mendatang, “Singkirkan dia secara
permanen dari masyarakat dan kirimkan kepada Tuhan untuk pengadilan ilahi, maka
si penjahat tak akan pernah mencelakai orang lagi.” St Thomas Aquinas
menegaskan bahwa jika masyarakat yang baik “dilindungi dan diselamatkan dengan
membunuh yang jahat, maka yang jahat dapat secara sah dijatuhi hukuman mati.”
Di samping itu, eksekusi terhadap seorang penjahat juga akan mencegah yang lain
untuk melakukan tindak kejahatan serupa.
Akhirnya, menurut St Thomas, hukuman mati dapat mengilhami perbaikan
diri: penjahat yang dijatuhi hukuman mati, menghadapi akhir hidupnya yang
segera tiba, dan sadar bahwa ia akan dihadapkan ke pengadilan Allah, diharapkan
akan tergerak hatinya untuk bertobat.
Berdasarkan pemahaman di atas, Gereja Katolik pada prinsipnya menjunjung
tinggi hak negara untuk melaksanakan hukuman mati atas penjahat-penjahat
tertentu, tetapi sekali lagi, “Sejauh cara-cara tidak berdarah mencukupi, untuk
membela kehidupan manusia terhadap penyerang dan untuk melindungi peraturan
resmi dan keamanan manusia, maka yang berwenang harus membatasi dirinya pada
cara-cara ini, karena cara-cara itu lebih menjawab syarat-syarat konkret bagi
kesejahteraan umum dan lebih sesuai dengan martabat manusia” (No. 2267).
Sesungguhnya sekarang ini, sebagai konsekuensi kemungkinan di mana negara
demi mencegah kejahatan secara efektif dengan menjadikan pelaku tindak
kejahatan tidak lagi dapat mencelakai - tanpa secara definitif meniadakan
kemungkinan ia meloloskan diri - kasus-kasus di mana eksekusi pelaku kejahatan
sungguh merupakan suatu kebutuhan yang mutlak, adalah langka sekali, kalau
bukannya praktis sudah tidak ada lagi.
Kalimat terakhir di atas dikutip dari ensiklik Paus Yohanes Paulus II “Evangelium
Vitae”: “Sudah jelaslah, bahwa supaya tujuan-tujuan itu tercapai, hakekat dan
beratnya hukuman harus dievaluasi dan diputuskan dengan cermat, dan jangan
sampai kepada ekstrem melaksanakan hukuman mati kecuali bila memang mutlak
perlu. Dengan kata lain, bila tanpa itu sudah tidak mungkin lagi melindungi
masyarakat. Akan tetapi sekarang, sebagai hasil perbaikan-perbaikan
terus-menerus dalam penataan sistem hukuman, kasus itu langka sekali, kalau
bukannya praktis sudah tidak ada lagi” (No 56). Patut diperhatikan bahwa Bapa
Suci telah senantiasa memohon dengan sangat demi keringanan hukuman mati. Walau
demikian, beliau tidak mengutuk hak negara untuk menjalankan otoritasnya dalam
mengeksekusi seorang penjahat besar, melainkan mempertanyakan apakah negara
pernah secara mutlak harus melaksanakan otoritas yang demikian dalam situasi
sekarang ini.
Sebab itu, meski Gereja menjunjung tinggi tradisi ajaran yang mengijinkan
hukuman mati untuk tindak kejahatan yang berat, tetapi ada beberapa persyaratan
serius yang harus dipenuhi guna melaksanakan otoritas tersebut: Apakah cara ini
merupakan satu-satunya kemungkinan untuk melindungi masyarakat atau adakah
cara-cara tidak berdarah lainnya? Apakah dengan demikian pelaku dijadikan “tak
lagi dapat mencelakai orang lain”? Apakah pelaku memiliki kemungkinan untuk
meloloskan diri? Apakah kasus ini merupakan suatu kasus khusus yang menjamin
bahwa hukuman yang demikian tidak akan sering dilakukan?
Sekarang, marilah membahas masalah yang dipertanyakan. Pada tanggal 19 April
1995, Timothy McVeigh meledakkan suatu bom dahsyat di depan Murrah Federal
Building yang menewaskan 168 orang dan melukai ratusan lainnya. Ia
mengakibatkan ketakutan permanen dalam diri keluarga-keluarga yang kehilangan
orang-orang yang mereka kasihi. Ia menyebut ke-19 kanak-kanak tak berdosa yang
tewas di fasilitas penitipan anak dalam gedung itu sebagai “collateral damage.”
Ia tak menunjukkan penyesalan, tak menyatakan maaf ataupun meminta pengampunan.
Hingga hari ini (25 Februari 2014), ia menolak untuk naik banding.
Sesungguhnya, dalam wawancara baru-baru ini, ia telah mengakui kesalahannya. Ia
diadili sebagaimana mestinya dan terbukti bersalah atas suatu kejahatan yang
sangat besar yang mendatangkan hukuman mati. Ia dijadwalkan untuk dieksekusi pada
tanggal 16 Mei, tetapi pelaksanaan eksekusi ditunda.
Sekarang, mari kita cermati apakah persyaratannya terpenuhi: Apakah
hukuman mati merupakan satu-satunya cara yang mungkin untuk melindungi
masyarakat atau adakah cara-cara tak berdarah lainnya? McVeigh dapat saja
dikirim ke salah satu dari penjara state-of-the-art yang baru, seumur hidupnya.
Baru-baru ini Negara Bagian Virginia memiliki dua penjara “super maximum” yang
baru; satu di Big Stone Gap dan satunya di Pound. Keduanya mampu menampung
1,267 narapidana. Mereka yang dikucilkan dalam komunitas khusus ini akan
dikurung secara individual 23 jam sehari dalam suatu sel berukuran 7x12
kaki. Terali jendela akan dipasangi kaca buram sehingga tahanan tak dapat
melihat keluar. Ia akan mendapatkan waktu olahraga selama satu jam sehari, yang
dilakukannya seorang diri dalam suatu halaman beton yang sempit, yang
dikelilingi tembok beton setinggi 12 kaki dan di atasnya dipasangi kawat
berduri. Narapidana yang dikucilkan ini tak akan memiliki kelompok aktivitas dan
tak mendapatkan program-program pendidikan ataupun kejuruan. Penjahat yang
paling besar tak akan mendapatkan bahan-bahan bacaan. Apabila orang diijinkan
mengunjunginya, kontak fisik tak akan diperbolehkan. Suatu penjara federal
serupa itu ada di Florence, Col. yang terpencil, di mana “Unabomber” Ted
Kaczynski dipenjarakan; sejak 4 Mei 1998, ia telah menjalani empat masa hukuman
seumur hidup ditambah 30 tahun penjara untuk serangkaian bom surat yang
menewaskan tiga orang dan melukai lebih dari 20 orang lainnya selama 17 tahun
masa teror. Kenyataan-kenyataan tersebut di atas memang sungguh mengerikan,
tetapi efektif. Walau demikian orang harus bertanya apakah fasilitas yang
demikian mampu membangkitkan niat perbaikan diri atau apakah semakin menegarkan
hati penjahat dalam usahanya mencelakai yang lain. Orang juga harus bertanya
apakah pengurungan yang demikian itu kejam dan tidak pada tempatnya. Masyarakat
juga harus waspada untuk tidak “mengurungnya dan lalu membuang kuncinya,” acuh
tak acuh dalam menawarkan rehabilitasi bagi penjahat yang demikian.
Apakah dengan begitu penjahat telah dibuat tak mungkin mencelakai orang
lagi? Kekejaman di penjara-penjara dan tingkat residivis yang tinggi bagi
narapidana yang dibebaskan menimbulkan keragu-raguan yang serius dalam diri
kita hingga sebesar 60%. Mungkinkah orang ini, yang telah melakukan tindakan
melanggar otoritas negara, akan membunuh sipir penjara atau sesama narapidana?
Bagaimana jika ia dapat melarikan diri? Segenap warga masyarakat, termasuk para
narapidana dan teristimewa para kurban kejahatan serta mereka yang telah
memberikan kesaksian yang memberatkan pelaku kejahatan ini, mempunyai hak untuk
hidup tanpa rasa takut. Para penjahat yang melakukan tindak kejahatan besar
telah melukai bukan saja kesejahteraan jasmani yang lain, melainkan juga
kesejahteraan rohani mereka. Seorang umat Kristiani wajib menunjukkan belas
kasihan kepada penjahat, namun demikian ia juga wajib menunjukkan belas kasihan
kepada kurban-kurban yang tak bersalah, yang telah menderita akibat tindak
kejahatan.
Apakah seorang penjahat memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri?
Timothy McVeigh telah membuktikannya sejak April 1995. Sungguh, hukuman mati
memberikan batas akhir waktu bagi seorang penjahat untuk memperbaiki diri. St
Thomas akan berargumentasi bahwa batasan waktu yang singkat itu akan
memotivasinya untuk memperbaiki diri. Di lain pihak, orang patut bertanya
apakah penjara super maximum menawarkan pengharapan akan perbaikan diri atau
rehabilitasi, atau sekedar menawarkan suatu “nasib yang lebih buruk daripada
mati.”
Apakah kasus ini merupakan kasus langka yang menuntut hukuman yang
demikian? Jika Timothy McVeigh dieksekusi, ini akan menjadi eksekusi federal
yang pertama sejak 1963; sungguh suatu peristiwa yang langka dalam otoritas
pengadilan. Di samping itu, kejahatan ini merupakan insiden yang langka, yang
sangat diharapkan tidak akan pernah terulang kembali.
Tak diragukan lagi, masalah ini sungguh rumit dan menimbulkan banyak
kesedihan dalam diri setiap orang Kristiani yang saleh. Tak ada sistem
pengadilan yang sempurna. Pertanyaan-pertanyaan seputar keadilan, pencegahan,
kecepatan pengadilan dalam menangani kasus, nasehat hukum yang memadai dan
serupa itu akan terus-menerus diajukan. Debat seputar persyaratan untuk melaksanakan
hukuman mati akan terus berlanjut. Sungguh genting dan mendesak perlunya
mengubah suatu sistem penjara dari suatu tempat di mana kita mengurung manusia,
menjadi suatu tempat di mana kita dapat merehabilitasi pelaku kejahatan. Namun
demikian, berdasarkan sistem kita sekarang, yang terbaik yang dapat dilakukan,
pengadilan yang adil wajib dijalankan dan hukuman yang adil dijatuhkan demi
memulihkan kembali tata keadilan dan perlindungan bagi semua orang.
Secara keseluruhan, balas dendam haruslah dihindari. Setelah Timothy
McVeigh dinyatakan bersalah, sebuah stasiun radio lokal di Denver mendirikan
suatu stand dekat balai pengadilan federal dan mengundang para pengemudi untuk
membunyikan klakson apabila mereka ingin “mengganyangnya”. Apabila Timothy McVeigh
dieksekusi, para keluarga kurban dapat menyaksikannya melalui closed-circuit
broadcast; masing-masing dengan motifnya sendiri dalam melakukannya. Tetapi,
hukuman mati tak akan dapat menghidupkan kembali orang-orang terkasih yang
telah meninggal; adalah lebih baik tidak melihat dan kemudian kehilangan
kendali diri. Betapa menyedihkan, kita adalah kurban-kurban dosa asal yang
malang dan terluka, masing-masing dari kita dapat dengan mudah kehilangan
pandangan akan keadilan dan terjerumus ke dalam dosa balas dendam, entah dendam
itu dilampiaskan melalui eksekusi ataupun sekedar mengurung seseorang dalam
suatu penjara super maximum. Keadilan sejati mengamanatkan agar kita wajib
menghapuskan segala bentuk dendam, dan mengejar jalan keluar yang adil bagi
semua pihak. Hanya keadilan sejati dengan kasih pengampunan akan mendatangkan
damai dan melupakan dendam masa lampau.
Entah bagaimana keputusan akhir dari kasus McVeigh ini McVeigh dijatuhi
hukuman mati pada tanggal 10 Juni 2001 dengan disuntik mati, umat Kristiani
yang baik manapun akan tetap berada dalam kegalauan batin. Mereka yang setuju
bahwa eksekusi selaras dengan kriteria keadilan dan sesuai dengan standard
tradisi ajaran Gereja Katolik, akan diliputi kegalauan hati akan perlunya
menunjukkan belas kasihan dan menghormati kekudusan hidup manusia, serta
martabat setiap individu. Mereka yang menentang penerapan hukuman mati apapun
dan mungkin bahkan memiliki standard kekudusan hidup manusia yang lebih tinggi
lagi - sama seperti sebagian umat Kristiani penyokong damai dalam masa perang -
mereka akan diliputi kegalauan hati akan jenis kehidupan yang mereka sodorkan
kepada McVeigh dalam penjara dan akan apakah masyarakat sekarang dapat
sungguh-sungguh aman. Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, tokoh besar dalam kebenaran
dan kekudusan hidup manusia, telah berulang kali menyerukan demi diakhirinya
hukuman mati dan memohon keringanan bagi hukuman mati. Sebab itu setiap umat
Kristen Katolik ditantang untuk bergulat dengan masalah ini, dan tidak hanya
sekedar mendukung satu pihak atau yang lainnya, melainkan berupaya demi
terciptanya suatu sistem yang lebih adil dalam segala aspek. Hanya melalui
keadilan kita akan dapat menikmati damai dan tata tertib dalam komunitas kita.
Gereja
Katolik dan hukuman mati
Ajaran-ajaran Yesus menitik-beratkan pada belas-kasih, rekonsiliasi dan
penebusan dosa; tema yang berulang-ulang ini dalam pesan Injil digunakan oleh Gereja Katolik
Roma untuk
menentang hukuman mati. Bapa-bapa Gereja seperti Klemens dari Roma dan Yustinus Martir menegaskan bahwa mengambil nyawa
manusia adalah bertentangan dengan Injil dan mendorong umat Kristiani untuk
tisak ikut-serta melaksanakan hukuman mati. Penentangan Gereja terhadap hukuman
mati menurun saat Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi. Santo Agustinus menilai hukuman mati sebagai sebuah
jalan untuk mencegah kejahatan dan melindungi pihak-pihak yang tidak bersalah.
Di Abad Pertengahan, Thomas Aquinas menegaskan kembali sikap ini.
Thomas Aquinas
Berikut ini adalah rangkuman dari Summa Contra Gentiles, Buku 3, Bab 146, yang ditulis oleh
Aquinas sebelum Summa Theologica. Santo Thomas adalah seorang pendukung
vokal dari hukuman mati. Ini adalah berdasarkan teori (yang ada di dalam Hukum
Moral Alami), bahwa negara tidak hanya berhak, tapi juga merupakan tugasnya
untuk melindungi warga negaranya dari para musuh negara, baik dari dalam maupun
dari luar.
Bagi mereka yang telah diangkat secara tepat, tidak ada
dosa di dalam pelaksanaan hukuman mati tersebut. Bagi mereka yang menolak untuk
mematuhi hukum Tuhan, adalah benar bagi masyarakat untuk menghukum mereka
dengan sanksi-sanksi sipil dan kriminal. Tidak ada orang yang berbuat dosa
dalam bekerja demi keadilan, dalam ruang lingkup hukum. Tindakan-tindakan yang
perlu dilakukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat pada dasarnya bukanlah
kejahatan. Kebaikan bersama di seluruh masyarakat adalah lebih penting dan
lebih baik daripada kesejahteraan pribadi individu tertentu. "Kehidupan
seorang yang berbahaya menjadi suatu hambatan untuk tercapainya kesejahteraan
bersama yang adalah dasar dari kerukunan masyarakat manusiawi. Oleh karena itu,
beberapa orang tertentu harus disingkirkan lewat kematian dari masyarakat
manusia." Hal ini disamakan dengan tindakan dokter yang harus
mengamputasi salah satu bagian tubuh yang sakit atau terkena kanker demi
kebaikan diri seseorang.
Thomas Aquinas mendasari pemikirannya ini pada:
- Kitab Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di
Korintus
5:6 : "Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi merusak seluruh
adonan?"
- dan 5:13 : "Usirlah orang yang melakukan
kejahatan dari tengah-tengah kamu.;
- Surat Paulus kepada Jemaat di Roma 13:4 : "Karena
pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat
jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang
pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas
mereka yang berbuat jahat";
- Surat Petrus yang Pertama 2: 13-14 : "Tunduklah, karena Allah,
kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan
yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum
orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat
baik."
Ia percaya kalimat-kalimat ini membawahi teks dari Kitab Keluaran 20:13 : "Jangan
membunuh." Hal ini disebut lagi di dalam Injil Matius 5:21. Juga, bisa dihubungkan dengan
kalimat di dalam Injil Matius 13:30: "Biarkanlah keduanya
tumbuh bersama sampai waktu menuai." Waktu menuai diinterpretasikan
sebagai rujukan untuk hari kiamat. Hal ini dijelaskan dalam Matius 13: 38-40.
Aquinas sadar bahwa kalimat-kalimat ini bisa juga
diartikan bahwa seharusnya tidak boleh ada hukuman mati apabila terdapat
kemungkinan apa pun bahwa pihak tidak bersalah menjadi terkena dampaknya.
Larangan "Jangan membunuh" dibawahi oleh Kitab Keluaran 22:18 : "Seorang ahli sihir
perempuan janganlah engkau biarkan hidup." Argumen yang menyatakan bahwa
pelaku kejahatan seharusnya diberikan kesempatan hidup supaya mereka bisa
menebus dosanya ditolak dan dianggap sebagai argumen yang tidak tepat. Apabila
mereka tidak bertobat di hadapan maut, adalah tidak masuk akal untuk menganggap
mereka akan bertobat sama sekali. "Berapa banyak orang yang kita
perbolehkan untuk dibunuh ketika menunggu orang yang bersalah untuk
bertobat?", ia bertanya secara retoris. Menggunakan hukuman mati untuk
balas dendam adalah pelanggaran atas hukum moral alami.
[Banyak pihak percaya bahwa interpretasi yang tepat dari
perintah Allah tersebut adalah "Jangan melakukan kejahatan pembunuhan."
Interpretasi ini mendukung kepercayaan Aquinas bahwa hukuman mati adalah sebuah
tindakan yang bisa diterima sebagaimana yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
berwenang atas hal tersebut, seperti pemerintah, yang diangkat secara ilahi
menurut kehendak Tuhan.]
Di bawah Paus
Yohanes Paulus II, Gereja Katolik malah menganjurkan hukuman penjara daripada hukuman mati,
walaupun hukuman mati tersebut masil diperbolehkan di beberapa kasus ekstrim.
Ajaran saat
ini
Paul J. Surlis menulis bahwa ajaran Gereja atas hukuman
mati sedang dalam peralihan. Katekismus
Gereja Katolik menyatakan
bahwa hukuman mati diperbolehkan dalam kasus-kasus yang sangat parah
kejahatannya. Gereja mengajarkan bahwa hukuman mati diperbolehkan hanya apabila
"identitas dan tanggung-jawab pihak yang bersalah telah dipastikan
sepenuhnya" dan apabila hukuman mati tersebut adalah satu-satunya jalan
untuk melindungi pihak-pihak lain dari kejahatan pihak yang bersalah ini.
Namun, apabila terdapat cara lain untuk melindungi
masyarakat dari "penyerang yang tidak berperi-kemanusiaan", cara-cara
ini lebih dipilih daripada hukuman mati karena cara-cara ini dianggap lebih
menghormati harga diri seorang manusia dan selaras dengan tujuan kebaikan
bersama.
Oleh karena masyarakat jaman sekarang memungkinkan adanya
cara-cara yang efektif untuk mencegah kejahatan tanpa adanya eksekusi,
Katekismus menyatakan bahwa "kasus dimana eksekusi pihak yang bersalah
adalah suatu keharusan 'adalah sangat jarang, bahkan bisa dibilang tidak ada
sama sekali.'
Perlu dicatat bahwa, dalam pembentukan negara Vatikan pada tahun 1929, hukuman mati tidak
pernah dilakukan dalam negara tersebut, suatu hal yang sangat berbeda dengan
praktek-praktek yang dilakukan di jaman Negara-negara
kepausan di Abad Pertengahan. Hal ini sesuai dengan posisi gereja
yang lebih condong ke paham abolisionis (penghapusan hukuman mati) saat
ini. Terdapat sedikit kerancuan mengenai posisi resmi pembentukan negara Vatikan ini saat beberapa catatan menyatakan
bahwa negara ini mengadopsi kode hukum Italia kuno yang tidak memiliki bentuk
hukuman mati dan bukannya mengadopsi kode hukum yang diseukai oleh Benito Mussolini saat hukuman mati dimulai lagi oleh
sang pemimpin Fasis tersebut. Saat ini hukuman mati secara resmi dihapuskan
pada tahun 1969 oleh Paus Paulus VI. Peristiwa ini yang mengindikasikan
posisi resmi Gereja dari tahun 1929 hingga tahun 1969 mirip dengan apa yang
terjadi di Inggris mulai dari penghapusan hukuman mati untuk kasus
pembunuhan pada tahun 1965 hingga abolisi sepenuhnya pada tahun 1998.
Dalam ensiklik-nya Evangelium Vitae yang diterbitkan tahun 1995, Paus
Yohanes Paulus II menghapuskan status persyaratan untuk keamanan publik dari hukuman mati
ini dan menyatakan bahwa, dalam masyarakat modern saat ini, hukuman mati sangat
jarang dapat didukung keberadaanya.