>

Minggu, 08 Februari 2015

Surat Terbuka Menjelang 100 hari Pemerintahan Jokowi-JK

SURAT TERBUKA
PERHIMPUNAN MAHASISWA KATOLIK REPUBLIK INDONESIA (PMKRI)
SANCTUS ALBERTUS MAGNUS CABANG SUNGAI RAYA
Kepada Bapak Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo
Pro Ecclesia et Patria.!!!

Puji dan Syukur atas Kehadirat Tuhan YME, karena Berkat Rahmat dan Karunia-Nya kita bisa menjalankan tugas dan tanggung jawab kita.
Pertama-tama PMKRI Cabang Sungai Raya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak atas perubahan-perubahan yang boleh kami (masyarakat) rasakan menjelang 100 hari masa pemerintahan Bapak selaku Presiden Republik Indonesia. Tidak lupa juga kami berterimakasih kepada para Stakeholder dan Menteri yang tergabung dalam Kabinet Kerja yang telah membantu merancang dan menyusun program-program yang bermanfaat bagi rakyat indonesia.
Menjelang 100 hari masa pemerintahan Bapak, kami merasakan perubahan yang begitu signifikan. Diantaranya adalah peningkatan keamanan dan penjagaan daerah kelautan dengan menangkap dan menenggelamkan kapal-kapal illegal (asing) yang selama ini mengeruk dan menyedot kekayaan alam kita miliki. Selain itu, dalam visi dan misi Bapak sebagai Presiden yang telah kami baca dan kami cermati bersama, tampak jelas bahwa Bapak begitu memperhatikan dan memprioritaskan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Tentunya dalam proses pelaksanaan program kerja yang telah Bapak canangkan, terdapat banyak hambatan. Banyak orang yang mencoba menjatuhkan, tetapi tidak sedikit pula orang yang mendukung penuh program yang Bapak rencanakan. Kami menyadari betul begitu banyak tantangan yang Bapak hadapi dalam mengemban tugas sebagai orang nomor 1 di Indonesia.
Dari beberapa program yang sudah terlaksanan maupun yang akan dilaksanakan, ada salah satu program yang menggelitik hati kecil kami. Program tersebut adalah transmigrasi di daerah perbatasan. Kami PMKRI Cabang Sungai Raya, mengapresiasi apa yang telah di jalankan Pemerintahan saat ini di bawah kepemimpinan Bapak. Kami juga menaruh harapan lebih kepada Tentara Nasional Republik Indonesia selaku Penjaga Kedaulatan NKRI, namun ada beberapa hal yang sangat mengusik perhatian Kami sebagai bagian dari masyarakat yang berada di Kalimantan Barat terkait pernyataan yang dilontarkan oleh Menteri Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang ingin menjadikan TNI beserta Keluarganya sebagai alat transmigrasi.
Kami melihat ini sebagai hal yang perlu dikaji bersama, kami tidak ingin ada penyimpangan tugas pokok dan fungsi Tentara. Karena keberadaan TNI dan Keluarganya yang disalurkan melalui program transmigrasi akan banyak menimbulkan dilema bagi Tentara itu sendiri dan dapat memicu konflik.
Dari itu kami menyampaikan kepada Bapak Presiden untuk melakukan peninjauan kembali dari program yang akan dilaksanakan ini, jika ini tetap direalisasikan maka Bapak Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan harus bertanggung jawab apabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan terhadap Keluarga TNI dan masyarakat di perbatasan.
Sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami tidak mempermasalahkan program transmigrasi tersebut. Sebab, jika dilihat dari tujuannya, maka transmigrasi bertujuan untuk pemerataan penduduk dan pembangunan, serta mensejahterakan masyarakat. Namun yang menjadi pertanyaan bagi kami adalah sasaran pelaksana dari transmigrasi tersebut (TNI).
Maafkan atas ketidakmengertian kami, tetapi ada beberapa pertanyaan yang mengusik hati kami ketika membaca dan mendengar tentang program tersebut. Tidakkah terdengar lucu jika TNI yang adalah lembaga pertahanan dan keamanan Negara bertransmigrasi? Apakah kehidupan TNI yang telah digajih oleh pemerintah belum sejahtera, sehingga mereka harus ditransmigrasikan? Dan yang lebih parah lagi, rencana pembangunan sebanyak 6.000 rumah untuk para transmigran TNI.
Bapak Presiden yang terhormat, selama ini kami tidak pernah mendengar ada satupun aparat keamanan dan pertahanan Negara, baik itu TNI maupun POLRI yang bertransmigrasi. Yang kami tahu, setelah menjadi anggota TNI ataupun POLRI, mereka ditugaskan bukan untuk ditransmigrasi seperti penduduk Indonesia lainnya.
Bapak Presiden yang terhormat, pada dasarnya kami tidak menolak program transmigrasi yang akan dilaksanakan entah itu dari suku dan agama apapun, sebab kami sadar betul bahwa kami adalah bagian dari NKRI. Transmigrasi TNI ke daerah perbatasan yang rawan konflik untuk menjaga patok atau tapal batas, menurut kami akan memecah konsentrasi para anggota TNI itu sendiri. Ketika suatu saat terjadi konflik, mereka akan dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu menjaga dan melindungi keluarga yang ikut bertransmigrasi atau menjaga kedaulatan NKRI. Tentunya tugas ini akan menjadi beban yang berat bagi Anggota TNI itu sendiri. Selain itu, rencana pembangunan 6.000 rumah dengan sistem koloni kami rasa akan menimbulkan suatu kesenjangan sosial diantara penduduk lokal dan transmigran. Kesenjangan ini pada akhirnya akan menimbulkan konflik. Diantaranya adalah perebutan lahan pertanian maupun hutan adat.
Kecenderungan terjadinya konflik akan kian menguat jika kita berkaca dari situasi kehidupan masyarakat saat ini yang hidup dalam kemiskinan dan tertinggal yang sampai detik ini masih kurang diperhatikan oleh Pemerintah.
Menurut kami program dengan anggaran besar (2,7 T) yang akan dilaksanakan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat tersebut tidak tepat. Akan lebih bijak apabila Bapak mengalokasikan dana tersebut untuk meningkatkan tarap hidup masyarakat di perbatasan melalui program-program pembangunan insfrastruktur, pendidikan, UKM, dan lain sebagainya. Kami yakin Bapak sangat memahami hal ini, dan menarik kembali program yang akan segera dilaksanakan tersebut. Jika ini tetap dilaksanakan mungkin ada sebuah konspirasi yang sedang Bapak bangun dengan menciptakan kesenjangan sosial yang dapat memicu konflik antara Transmigran (TNI dan keluarga) dengan masyarakat lokal (?) , entahlah kami tidak tahu dan tidak juga berprasangka buruk terhadap Bapak.
Bapak presiden yang terhormat, seandainya saja kita dapat berbincang sambil minum kopi bersama, ada banyak hal yang ingin kami ceritakan tentang kisah hidup kami masyarakat Kalimantan. Jangan tanyakan tentang cinta kami akan negeri ini, tapi lihatlah betapa menderitanya hidup kami (masyarakat diperbatasan). jangan tanyakan tentang kesejahteraan kami, tapi lihatlah fasilitas yang kami miliki semuanya tidak memadai.
Salam hangat dari kami PMKRI Cabang Sungai Raya dan masyarakat perbatasan.
100% Katolik, 100% Indonesia
PERHIMPUNAN MAHASISWA KATOLIK REPUBLIK INDONESIA
CABANG SUNGAI RAYA SANCTUS ALBERTUS MAGNUS

:http://politik.kompasiana.com/2015/01/25/menjelang-100-hari-pemerintahan-jokowi-jk-719244.html

Selasa, 11 Maret 2014

Masyarakat: menciptakan perdamaian dan membangun Negara menurut Kitab Suci

Masyarakat: menciptakan perdamaian dan membangun Negara menurut Kitab Suci
Oleh: Selpanus Usel

1.      Bersyukur atas Anugerah Keanekaragaman dan Persatuan
Apakah kamu merasa kagum akan keindahan alam Indonesia dan keanekaragaman suku dan budaya Indonesia itu? Bagaimana semua itu terjadi? Dari manakah semua itu berasal? Apa yang sebaiknya kita perbuat?
Bacalah firman Allah dari Kitab Kejadian berikut!
Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya. “ Dan jadilah demikian. Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.
Segala keindahan alam itu berasal dari Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia. Keindahan alam Indonesia dengan seluruh flora dan faunanya merupakan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia.
Aneka suku dengan segala adat kebiasaan serta bahasanya merupakan buah perkembangan manusia seperti yang difirmankan Allah: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28).
Dari dua manusia yang Allah ciptakan itu berkembanglah suku-suku dan bangsa yang tersebar ke seluruh bumi. Keanekaragaman suku dengan segala budayanya, seperti keanekaan flora dan fauna adalah kehendak Tuhan.
Keberagaman tersebut memang dapat menjadikan perpecahan di antara manusia. Walaupun begitu Allah memberikan dalam hati manusia kekuatan batin yang mendorong manusia untuk bersatu dan saling menolong.
2.      Tanggung Jawab Warga Negara
            Menjadi warga Gereja Katolik Indonesia sekaligus menjadi warga negara Indonesia. Warga Gereja Katolik mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan semua warga negara yang beragama lain. Karena kalian semua hidup dan berkembang di negara yang sama, yaitu Indonesia. Bagaimana sikap Gereja Katolik terhadap negara Indonesia? Gereja tetap menghendaki semua umat Katolik yang hidup dan berkembang di negara Indonesia. Gereja mengharapkan seluruh umat Katolik taat dan bertanggung jawab terhadap negaranya. Yesus sandiri menegaskan demikian:

   Kemudian pergilah orang-orang Farisi; mereka berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan. Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama dengan orang-orang Herodian bertanya kepadanya: “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak? “Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: “Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu. “Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya. Maka Ia bertanya kepada mereka: “Gambar dan tulisan siapakah ini? “Jawab mereka: “Gambar dan tulisan Kaisar. “Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah. “Mendengar itu heranlah mereka dan meninggalkan Yesus lalu pergi (Mat 22:15-22).
   Sebagai orang Katolik, kamu wajib untuk selalu taat kepada negara seperti membayar pajak dan menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh negara. Tetapi sebagai warga Gereja kamu juga harus taat kepada Allah. Menjadi orang Katolik hendaknya menjadi teladan dalam kewajiban dan hormat kepada negara dan bangsa Indonesia. Semua peraturan yang telah dibuat mempunyai tujuan yang baik yaitu mengatur hajat hidup seluruh warga negara Indonesia. Peraturan dibuat demi terciptanya tatanan hidup yang sejahtera, adil, dan bersaudara. 

Hukuman Mati dan Ajaran Gereja

Hukuman Mati dan Ajaran Gereja

Pada bulan Juni 1997, juri menyatakan Timothy McVeigh bersalah atas pengeboman Oklahoma City dan ia dijatuhi hukuman mati. Sebenarnya ia telah dieksekusi pada tanggal 16 Mei 2001 yang lalu, tetapi karena FBI menemukan dokumen-dokumen baru, eksekusi ditunda. Sepanjang masa itu, saya membaca dan juga mendengar banyak pernyataan pro dan kontra mengenai hukuman mati. Bagaimana sebenarnya ajaran Gereja mengenai hukuman mati?
~ seorang pembaca di Springfield

Masalah hukuman mati sungguh merupakan suatu topik yang tak henti-hentinya diperdebatkan di seluruh dunia. Bagi umat Katolik, masalah ini terlebih lagi problematis oleh karena ajaran Gereja mengenai kekudusan hidup manusia dan martabat manusia, yang sepintas lalu tampaknya menentang tindakan mengakhiri hidup manusia. Namun demikian, hak untuk hidup merupakan dasar dari kewajiban untuk melindungi serta memelihara hidup diri sendiri, “Cinta kepada diri sendiri merupakan  dasar ajaran susila. Dengan demikian adalah sah menuntut haknya atas kehidupannya sendiri. Siapa yang membela kehidupannya, tidak bersalah karena pembunuhan, juga apabila ia terpaksa menangkis penyerangannya dengan satu pukulan yang mematikan” (Katekismus Gereja Katolik, No. 2264).

Prinsip yang sama berlaku pula bagi negara dalam melaksanakan kewajibannya. Pertama, negara memiliki kewajiban untuk menjaga keselamatan orang banyak dan melindungi warganya dari malapetaka. Sebab itu, negara dapat menyatakan dan memaklumkan perang melawan penyerang dari luar komunitasnya sama seperti individu memiliki hak yang sah untuk mempertahankan diri.

Kedua, negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menjatuhkan hukuman yang adil kepada individu-individu yang melakukan tindak kejahatan dan mengancam kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, keadilan menuntut bahwa suatu hukuman haruslah sepadan dengan kejahatan - hukuman harus proporsional dengan luka yang diakibatkan kejahatan. Hukuman yang demikian tidak hanya sekedar “mata ganti mata, gigi ganti gigi”; tetapi, suatu hukuman yang adil berusaha memulihkan keadaan damai yang terluka oleh kejahatan. Dengan demikian, hukuman menuntut ganti rugi yang sepadan, tindak pencegahan dan perbaikan diri.

Sebagai bentuk ganti rugi, hukuman secara khusus memulihkan kembali tata keadilan yang telah dilanggar oleh pelaku kejahatan. Sebagai contoh, jika pelaku kejahatan mencuri sesuatu, maka harus diberikan ganti rugi, misalnya dengan mengembalikan barang yang dicuri atau melakukan bentuk pembayaran lainnya. Pelaku juga dapat dikenai sanksi pencabutan atas hak-hak tertentu, misalnya dengan kurungan atau denda. Ganti rugi yang adil berusaha menyembuhkan luka yang diakibatkan oleh kejahatan dan mengembalikan tata keadilan.

Sejalan dengan pemikiran ini, hukuman sepatutnya mencegah terjadinya kejahatan di masa mendatang. Jika keadilan dilaksanakan dengan adil dan segera, maka hukuman tertentu untuk tindak kejahatan tertentu seharusnya mencegah terjadinya kejahatan di masa mendatang baik oleh pelaku kejahatan itu sendiri maupun orang lain. Hukuman seharusnya tidak hanya sekedar melindungi masyarakat dari suatu tindak kejahatan tertentu, melainkan juga menjauhkan pelaku kejahatan dari tindak kejahatan yang sama di masa mendatang.

Pada akhirnya, hukuman yang dijatuhkan atas seorang pelaku kejahatan haruslah membangkitkan motivasi dalam dirinya untuk memperbaiki diri. Penjahat yang dijatuhi hukuman diharapkan tergerak untuk melihat jalannya yang salah, bertobat dan kemudian mengubah hidupnya.

Hukuman yang adil berusaha menyeimbangkan ketiga perspektif ini: ganti rugi, pencegahan dan perbaikan diri. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam menerapkan hukuman yang demikian, negara harus menjamin sebaik mungkin bahwa terdakwa diadili dengan adil dan bahwa hanya otoritas yang sah saja yang dapat menjatuhkan sanksi.

Sesuai dengan cara pandang ini, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Pembelaan kesejahteraan umum masyarakat menuntut agar penyerang dihalangi untuk menyebabkan kerugian. Karena alasan ini, maka ajaran Gereja sepanjang sejarah mengakui keabsahan hak dan kewajiban dari kekuasaan politik yang sah, menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan, tanpa mengecualikan hukuman mati dalam kejadian-kejadian yang serius” (No. 2266).

Dalam pernyataan ini, Katekismus mengakui bahwa pelaksanaan hukuman mati merupakan bagian dari “ajaran turun-temurun Gereja,” seperti dibuktikan, terutama sekali, dalam Kitab Suci. Sebagai contoh, hukum Perjanjian Lama mengijinkan pelaksanaan hukuman mati untuk dosa-dosa berat: “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Kej 9:6) dan “Siapa yang memukul seseorang, sehingga mati, pastilah ia dihukum mati. Apabila seseorang berlaku angkara terhadap sesamanya, hingga ia membunuhnya dengan tipu daya, maka engkau harus mengambil orang itu dari mezbah-Ku, supaya ia mati dibunuh” (Kel 21:12, 14).

Tetapi, kejahatan berat dalam Perjanjian Lama meliputi bukan hanya pembunuhan yang direncanakan, melainkan juga penculikan, tindakan mengutuk atau memukul orangtua, sihir, sodomi, tindakan biadab, dan penyembahan berhala. Dosa-dosa demikian teramat keji dalam pandangan Tuhan dan amat membahayakan baik kesejahteraan rohani maupun kesejahteraan jasmani masyarakat hingga keadilan mengamanatkan hukuman mati sebagai ganjaran yang setimpal. Tata keadilan hanya dapat dipulihkan kembali melalui hukuman mati terhadap pelaku kejahatan.

Perlu diingat bahwa meski Perjanjian Lama mencatat daftar berbagai kejahatan berat, namun demikian Perjanjian Lama sungguh berbicara mengenai belas kasih Allah. “Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup” (Yeh 33:11). “Supaya ia hidup” walau pernyataan itu mungkin tidak terlalu dititik-beratkan pada hidup jasmani, melainkan lebih pada hidup rohani, yaitu agar orang berdosa yang bertobat dapat terhindar dari hukuman abadi di neraka. Di samping itu, pengamalan belas kasih haruslah menjamin pulihnya kembali kedamaian, sebab tidak akan ada belas kasih apabila masyarakat hidup dalam ketakutan karena seorang penjahat besar yang tak bertobat.

Patut disimak juga bahwa Pontius Pilatus memaklumkan hukuman mati atas Tuhan kita dan memerintahkan penyaliban-Nya. Tetapi, tak didapati di mana pun dalam Perjanjian Baru hak negara untuk menjatuhkan hukuman mati atas seorang penjahat.

Dalam mencermati ayat-ayat di atas, walau tak banyak, orang jangan lupa bertanya apakah tujuan dan kewajiban negara untuk melindungi masyarakat dari kejahatan-kejahatan yang demikian dan dari para pelaku tindak kejahatan yang demikian itu dapat dilaksanakan pada masa kini dengan cara yang berbeda, tetapi dengan suatu cara yang menghasilkan hasil akhir yang sama? Dapatkah negara menjunjung tinggi hukum, menguasai penjahat, melindungi masyarakat, memulihkan keadilan dan mencegah kejahatan di masa mendatang, tetapi dengan menghindarkan hukuman mati?

Lebih jauh St Thomas Aquinas menguraikan hak negara dalam menjatuhkan hukuman mati kepada seorang penjahat. Demi melindungi masyarakat, hukuman mati dapat dilaksanakan guna menghukum “sampar masyarakat,” yaitu orang-orang yang dengan bebas dan sukarela memilih untuk melakukan suatu tindak kejahatan berat. St Thomas Aquinas menegaskan bahwa melalui dosa, manusia menyimpang dari akal budinya dan jatuh dari martabatnya sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar dan citra Allah. Beberapa tindak kejahatan begitu brutal hingga orang bertanya, “Manusia macam apakah yang dapat melakukan tindak kejahatan demikian itu?” Seorang yang melakukan suatu tindak kejahatan yang berat, menurut St Thomas, bahkan lebih mengerikan daripada bintang buas yang ganas dan bahkan jauh lebih berbahaya dari itu, sebab ia dapat merusak individu-individu lainnya dan mencelakai masyarakat. Terkadang, beberapa individu telah begitu dipenuhi kejahatan, buta akan kebenaran dan kebajikan, dan tanpa penyesalan atas tindak kejahatan yang mereka lakukan, hingga, seperti dikemukakan St Thomas Aquinas, mereka harus disingkirkan secara permanen dari masyarakat. Sama seperti suatu organ yang terinfeksi atau terjangkit penyakit menular harus dibuang demi memelihara kesehatan seluruh tubuh, demikian pula seorang yang berbahaya atau merupakan sampar masyarakat dapat dieksekusi daripada merusakkan atau mendatangkan celaka bagi masyarakat. (Cf Summa Theologiae, II-II, 64, 1.)

Di sini, St Thomas Aquinas membuat pembedaan penting antara “sampar masyarakat” dengan “seorang yang tak bersalah,” dan pembedaan ini terus berlanjut dalam ajaran Katolik yang sekarang. Kehidupan manusia adalah sungguh kudus dalam segala bentuknya dan dalam segala masa; seorang manusia yang tak bersalah memiliki hak yang kudus dan tak dapat diganggu gugat untuk hidup. Gereja dengan cermat menggaris-bawahi hak yang tak dapat diganggu gugat dari “kehidupan yang tak bersalah” ini. Dalam Declaratio de Euthanasia (1980) Gereja menegaskan, “Harus ditandaskan sekali lagi bahwa tak sesuatupun dan tak seorang pun dapat memberi hak mematikan manusia yang tak bersalah, entah menyangkut fetus atau embrio, anak atau orang dewasa, orang lanjut usia, orang sakit yang tak tersembuhkan atau orang yang sedang akan meninggal.” Dalam Declaratio de abortu procurator (1974) Gereja memaklumkan, “Hukum ilahi dan akalbudi kodrati dengan demikian menyisihkan hak untuk direk membunuh manusia yang tak bersalah.” Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Evangelium Vitae menyatakan, “kami meneguhkan bahwa pembunuhan langsung dan sengaja manusia yang tak bersalah selalu merupakan pelanggaran moril yang berat” (No. 57). Katekismus Gereja Katolik, dengan mengutip “Donum vitae,” mengajarkan, “Hanya Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir: tidak ada seorang pun boleh berpretensi mempunyai hak, dalam keadaan mana pun, untuk mengakhiri secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah” (No. 2258).

Tetapi, dalam tradisi ajaran Gereja, apabila seseorang secara sukarela dan bebas melakukan suatu tindak kejahatan yang berat, ia tak lagi dapat dianggap sebagai `seorang yang tak bersalah,' melainkan sebagai “seorang penyerang yang tidak adil.” Apabila ia dinilai sebagai ancaman bagi masyarakat secara keseluruhan, ia dapat dijatuhi hukuman penjara, dan bagi tindak kejahatan yang sungguh teramat berat, ia dapat dicabut hak hidupnya dalam masyarakat ini, pada masa ini, pada waktu ini, dan dieksekusi. Sama seperti seseorang berhak mengakhiri hidup orang lain sebagai upaya terakhir untuk melindingi hidupnya sendiri atau hidup orang lain, sama seperti negara berhak memaklumkan perang sebagai upaya terakhir untuk melindungi diri, demikian pula negara, sebagai upaya terakhir (“satu-satunya cara yang mungkin”), berhak malaksanakan hukuman mati untuk melindungi warganya dari penyerang yang tidak adil.

St Thomas juga mengajukan argumentasi bahwa hukuman mati dapat dipergunakan pula untuk mencegah tindak kejahatan di masa mendatang, “Singkirkan dia secara permanen dari masyarakat dan kirimkan kepada Tuhan untuk pengadilan ilahi, maka si penjahat tak akan pernah mencelakai orang lagi.” St Thomas Aquinas menegaskan bahwa jika masyarakat yang baik “dilindungi dan diselamatkan dengan membunuh yang jahat, maka yang jahat dapat secara sah dijatuhi hukuman mati.” Di samping itu, eksekusi terhadap seorang penjahat juga akan mencegah yang lain untuk melakukan tindak kejahatan serupa.

Akhirnya, menurut St Thomas, hukuman mati dapat mengilhami perbaikan diri: penjahat yang dijatuhi hukuman mati, menghadapi akhir hidupnya yang segera tiba, dan sadar bahwa ia akan dihadapkan ke pengadilan Allah, diharapkan akan tergerak hatinya untuk bertobat.

Berdasarkan pemahaman di atas, Gereja Katolik pada prinsipnya menjunjung tinggi hak negara untuk melaksanakan hukuman mati atas penjahat-penjahat tertentu, tetapi sekali lagi, “Sejauh cara-cara tidak berdarah mencukupi, untuk membela kehidupan manusia terhadap penyerang dan untuk melindungi peraturan resmi dan keamanan manusia, maka yang berwenang harus membatasi dirinya pada cara-cara ini, karena cara-cara itu lebih menjawab syarat-syarat konkret bagi kesejahteraan umum dan lebih sesuai dengan martabat manusia” (No. 2267).

Sesungguhnya sekarang ini, sebagai konsekuensi kemungkinan di mana negara demi mencegah kejahatan secara efektif dengan menjadikan pelaku tindak kejahatan tidak lagi dapat mencelakai - tanpa secara definitif meniadakan kemungkinan ia meloloskan diri - kasus-kasus di mana eksekusi pelaku kejahatan sungguh merupakan suatu kebutuhan yang mutlak, adalah langka sekali, kalau bukannya praktis sudah tidak ada lagi.

Kalimat terakhir di atas dikutip dari ensiklik Paus Yohanes Paulus II “Evangelium Vitae”: “Sudah jelaslah, bahwa supaya tujuan-tujuan itu tercapai, hakekat dan beratnya hukuman harus dievaluasi dan diputuskan dengan cermat, dan jangan sampai kepada ekstrem melaksanakan hukuman mati kecuali bila memang mutlak perlu. Dengan kata lain, bila tanpa itu sudah tidak mungkin lagi melindungi masyarakat. Akan tetapi sekarang, sebagai hasil perbaikan-perbaikan terus-menerus dalam penataan sistem hukuman, kasus itu langka sekali, kalau bukannya praktis sudah tidak ada lagi” (No 56). Patut diperhatikan bahwa Bapa Suci telah senantiasa memohon dengan sangat demi keringanan hukuman mati. Walau demikian, beliau tidak mengutuk hak negara untuk menjalankan otoritasnya dalam mengeksekusi seorang penjahat besar, melainkan mempertanyakan apakah negara pernah secara mutlak harus melaksanakan otoritas yang demikian dalam situasi sekarang ini.

Sebab itu, meski Gereja menjunjung tinggi tradisi ajaran yang mengijinkan hukuman mati untuk tindak kejahatan yang berat, tetapi ada beberapa persyaratan serius yang harus dipenuhi guna melaksanakan otoritas tersebut: Apakah cara ini merupakan satu-satunya kemungkinan untuk melindungi masyarakat atau adakah cara-cara tidak berdarah lainnya? Apakah dengan demikian pelaku dijadikan “tak lagi dapat mencelakai orang lain”? Apakah pelaku memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri? Apakah kasus ini merupakan suatu kasus khusus yang menjamin bahwa hukuman yang demikian tidak akan sering dilakukan?

Sekarang, marilah membahas masalah yang dipertanyakan. Pada tanggal 19 April 1995, Timothy McVeigh meledakkan suatu bom dahsyat di depan Murrah Federal Building yang menewaskan 168 orang dan melukai ratusan lainnya. Ia mengakibatkan ketakutan permanen dalam diri keluarga-keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka kasihi. Ia menyebut ke-19 kanak-kanak tak berdosa yang tewas di fasilitas penitipan anak dalam gedung itu sebagai “collateral damage.” Ia tak menunjukkan penyesalan, tak menyatakan maaf ataupun meminta pengampunan. Hingga hari ini (25 Februari 2014), ia menolak untuk naik banding. Sesungguhnya, dalam wawancara baru-baru ini, ia telah mengakui kesalahannya. Ia diadili sebagaimana mestinya dan terbukti bersalah atas suatu kejahatan yang sangat besar yang mendatangkan hukuman mati. Ia dijadwalkan untuk dieksekusi pada tanggal 16 Mei, tetapi pelaksanaan eksekusi ditunda.

Sekarang, mari kita cermati apakah persyaratannya terpenuhi: Apakah hukuman mati merupakan satu-satunya cara yang mungkin untuk melindungi masyarakat atau adakah cara-cara tak berdarah lainnya? McVeigh dapat saja dikirim ke salah satu dari penjara state-of-the-art yang baru, seumur hidupnya. Baru-baru ini Negara Bagian Virginia memiliki dua penjara “super maximum” yang baru; satu di Big Stone Gap dan satunya di Pound. Keduanya mampu menampung 1,267 narapidana. Mereka yang dikucilkan dalam komunitas khusus ini akan dikurung secara individual  23 jam sehari dalam suatu sel berukuran 7x12 kaki. Terali jendela akan dipasangi kaca buram sehingga tahanan tak dapat melihat keluar. Ia akan mendapatkan waktu olahraga selama satu jam sehari, yang dilakukannya seorang diri dalam suatu halaman beton yang sempit, yang dikelilingi tembok beton setinggi 12 kaki dan di atasnya dipasangi kawat berduri. Narapidana yang dikucilkan ini tak akan memiliki kelompok aktivitas dan tak mendapatkan program-program pendidikan ataupun kejuruan. Penjahat yang paling besar tak akan mendapatkan bahan-bahan bacaan. Apabila orang diijinkan mengunjunginya, kontak fisik tak akan diperbolehkan. Suatu penjara federal serupa itu ada di Florence, Col. yang terpencil, di mana “Unabomber” Ted Kaczynski dipenjarakan; sejak 4 Mei 1998, ia telah menjalani empat masa hukuman seumur hidup ditambah 30 tahun penjara untuk serangkaian bom surat yang menewaskan tiga orang dan melukai lebih dari 20 orang lainnya selama 17 tahun masa teror. Kenyataan-kenyataan tersebut di atas memang sungguh mengerikan, tetapi efektif. Walau demikian orang harus bertanya apakah fasilitas yang demikian mampu membangkitkan niat perbaikan diri atau apakah semakin menegarkan hati penjahat dalam usahanya mencelakai yang lain. Orang juga harus bertanya apakah pengurungan yang demikian itu kejam dan tidak pada tempatnya. Masyarakat juga harus waspada untuk tidak “mengurungnya dan lalu membuang kuncinya,” acuh tak acuh dalam menawarkan rehabilitasi bagi penjahat yang demikian.

Apakah dengan begitu penjahat telah dibuat tak mungkin mencelakai orang lagi? Kekejaman di penjara-penjara dan tingkat residivis yang tinggi bagi narapidana yang dibebaskan menimbulkan keragu-raguan yang serius dalam diri kita hingga sebesar 60%. Mungkinkah orang ini, yang telah melakukan tindakan melanggar otoritas negara, akan membunuh sipir penjara atau sesama narapidana? Bagaimana jika ia dapat melarikan diri? Segenap warga masyarakat, termasuk para narapidana dan teristimewa para kurban kejahatan serta mereka yang telah memberikan kesaksian yang memberatkan pelaku kejahatan ini, mempunyai hak untuk hidup tanpa rasa takut. Para penjahat yang melakukan tindak kejahatan besar telah melukai bukan saja kesejahteraan jasmani yang lain, melainkan juga kesejahteraan rohani mereka. Seorang umat Kristiani wajib menunjukkan belas kasihan kepada penjahat, namun demikian ia juga wajib menunjukkan belas kasihan kepada kurban-kurban yang tak bersalah, yang telah menderita akibat tindak kejahatan.  

Apakah seorang penjahat memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri? Timothy McVeigh telah membuktikannya sejak April 1995. Sungguh, hukuman mati memberikan batas akhir waktu bagi seorang penjahat untuk memperbaiki diri. St Thomas akan berargumentasi bahwa batasan waktu yang singkat itu akan memotivasinya untuk memperbaiki diri. Di lain pihak, orang patut bertanya apakah penjara super maximum menawarkan pengharapan akan perbaikan diri atau rehabilitasi, atau sekedar menawarkan suatu “nasib yang lebih buruk daripada mati.”

Apakah kasus ini merupakan kasus langka yang menuntut hukuman yang demikian? Jika Timothy McVeigh dieksekusi, ini akan menjadi eksekusi federal yang pertama sejak 1963; sungguh suatu peristiwa yang langka dalam otoritas pengadilan. Di samping itu, kejahatan ini merupakan insiden yang langka, yang sangat diharapkan tidak akan pernah terulang kembali.

Tak diragukan lagi, masalah ini sungguh rumit dan menimbulkan banyak kesedihan dalam diri setiap orang Kristiani yang saleh. Tak ada sistem pengadilan yang sempurna. Pertanyaan-pertanyaan seputar keadilan, pencegahan, kecepatan pengadilan dalam menangani kasus, nasehat hukum yang memadai dan serupa itu akan terus-menerus diajukan. Debat seputar persyaratan untuk melaksanakan hukuman mati akan terus berlanjut. Sungguh genting dan mendesak perlunya mengubah suatu sistem penjara dari suatu tempat di mana kita mengurung manusia, menjadi suatu tempat di mana kita dapat merehabilitasi pelaku kejahatan. Namun demikian, berdasarkan sistem kita sekarang, yang terbaik yang dapat dilakukan, pengadilan yang adil wajib dijalankan dan hukuman yang adil dijatuhkan demi memulihkan kembali tata keadilan dan perlindungan bagi semua orang.

Secara keseluruhan, balas dendam haruslah dihindari. Setelah Timothy McVeigh dinyatakan bersalah, sebuah stasiun radio lokal di Denver mendirikan suatu stand dekat balai pengadilan federal dan mengundang para pengemudi untuk membunyikan klakson apabila mereka ingin “mengganyangnya”. Apabila Timothy McVeigh dieksekusi, para keluarga kurban dapat menyaksikannya melalui closed-circuit broadcast; masing-masing dengan motifnya sendiri dalam melakukannya. Tetapi, hukuman mati tak akan dapat menghidupkan kembali orang-orang terkasih yang telah meninggal; adalah lebih baik tidak melihat dan kemudian kehilangan kendali diri. Betapa menyedihkan, kita adalah kurban-kurban dosa asal yang malang dan terluka, masing-masing dari kita dapat dengan mudah kehilangan pandangan akan keadilan dan terjerumus ke dalam dosa balas dendam, entah dendam itu dilampiaskan melalui eksekusi ataupun sekedar mengurung seseorang dalam suatu penjara super maximum. Keadilan sejati mengamanatkan agar kita wajib menghapuskan segala bentuk dendam, dan mengejar jalan keluar yang adil bagi semua pihak. Hanya keadilan sejati dengan kasih pengampunan akan mendatangkan damai dan melupakan dendam masa lampau.

Entah bagaimana keputusan akhir dari kasus McVeigh ini McVeigh dijatuhi hukuman mati pada tanggal 10 Juni 2001 dengan disuntik mati, umat Kristiani yang baik manapun akan tetap berada dalam kegalauan batin. Mereka yang setuju bahwa eksekusi selaras dengan kriteria keadilan dan sesuai dengan standard tradisi ajaran Gereja Katolik, akan diliputi kegalauan hati akan perlunya menunjukkan belas kasihan dan menghormati kekudusan hidup manusia, serta martabat setiap individu. Mereka yang menentang penerapan hukuman mati apapun dan mungkin bahkan memiliki standard kekudusan hidup manusia yang lebih tinggi lagi - sama seperti sebagian umat Kristiani penyokong damai dalam masa perang - mereka akan diliputi kegalauan hati akan jenis kehidupan yang mereka sodorkan kepada McVeigh dalam penjara dan akan apakah masyarakat sekarang dapat sungguh-sungguh aman. Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, tokoh besar dalam kebenaran dan kekudusan hidup manusia, telah berulang kali menyerukan demi diakhirinya hukuman mati dan memohon keringanan bagi hukuman mati. Sebab itu setiap umat Kristen Katolik ditantang untuk bergulat dengan masalah ini, dan tidak hanya sekedar mendukung satu pihak atau yang lainnya, melainkan berupaya demi terciptanya suatu sistem yang lebih adil dalam segala aspek. Hanya melalui keadilan kita akan dapat menikmati damai dan tata tertib dalam komunitas kita.
Gereja Katolik dan hukuman mati
Ajaran-ajaran Yesus menitik-beratkan pada belas-kasih, rekonsiliasi dan penebusan dosa; tema yang berulang-ulang ini dalam pesan Injil digunakan oleh Gereja Katolik Roma untuk menentang hukuman mati. Bapa-bapa Gereja seperti Klemens dari Roma dan Yustinus Martir menegaskan bahwa mengambil nyawa manusia adalah bertentangan dengan Injil dan mendorong umat Kristiani untuk tisak ikut-serta melaksanakan hukuman mati. Penentangan Gereja terhadap hukuman mati menurun saat Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi. Santo Agustinus menilai hukuman mati sebagai sebuah jalan untuk mencegah kejahatan dan melindungi pihak-pihak yang tidak bersalah. Di Abad Pertengahan, Thomas Aquinas menegaskan kembali sikap ini.
Thomas Aquinas
Berikut ini adalah rangkuman dari Summa Contra Gentiles, Buku 3, Bab 146, yang ditulis oleh Aquinas sebelum Summa Theologica. Santo Thomas adalah seorang pendukung vokal dari hukuman mati. Ini adalah berdasarkan teori (yang ada di dalam Hukum Moral Alami), bahwa negara tidak hanya berhak, tapi juga merupakan tugasnya untuk melindungi warga negaranya dari para musuh negara, baik dari dalam maupun dari luar.
Bagi mereka yang telah diangkat secara tepat, tidak ada dosa di dalam pelaksanaan hukuman mati tersebut. Bagi mereka yang menolak untuk mematuhi hukum Tuhan, adalah benar bagi masyarakat untuk menghukum mereka dengan sanksi-sanksi sipil dan kriminal. Tidak ada orang yang berbuat dosa dalam bekerja demi keadilan, dalam ruang lingkup hukum. Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat pada dasarnya bukanlah kejahatan. Kebaikan bersama di seluruh masyarakat adalah lebih penting dan lebih baik daripada kesejahteraan pribadi individu tertentu. "Kehidupan seorang yang berbahaya menjadi suatu hambatan untuk tercapainya kesejahteraan bersama yang adalah dasar dari kerukunan masyarakat manusiawi. Oleh karena itu, beberapa orang tertentu harus disingkirkan lewat kematian dari masyarakat manusia." Hal ini disamakan dengan tindakan dokter yang harus mengamputasi salah satu bagian tubuh yang sakit atau terkena kanker demi kebaikan diri seseorang.
Thomas Aquinas mendasari pemikirannya ini pada:
  • Kitab Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 5:6 : "Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi merusak seluruh adonan?"
  • dan 5:13 : "Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.;
  • Surat Paulus kepada Jemaat di Roma 13:4 : "Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat";
  • Surat Petrus yang Pertama 2: 13-14 : "Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik."
Ia percaya kalimat-kalimat ini membawahi teks dari Kitab Keluaran 20:13 : "Jangan membunuh." Hal ini disebut lagi di dalam Injil Matius 5:21. Juga, bisa dihubungkan dengan kalimat di dalam Injil Matius 13:30: "Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai." Waktu menuai diinterpretasikan sebagai rujukan untuk hari kiamat. Hal ini dijelaskan dalam Matius 13: 38-40.
Aquinas sadar bahwa kalimat-kalimat ini bisa juga diartikan bahwa seharusnya tidak boleh ada hukuman mati apabila terdapat kemungkinan apa pun bahwa pihak tidak bersalah menjadi terkena dampaknya. Larangan "Jangan membunuh" dibawahi oleh Kitab Keluaran 22:18 : "Seorang ahli sihir perempuan janganlah engkau biarkan hidup." Argumen yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan seharusnya diberikan kesempatan hidup supaya mereka bisa menebus dosanya ditolak dan dianggap sebagai argumen yang tidak tepat. Apabila mereka tidak bertobat di hadapan maut, adalah tidak masuk akal untuk menganggap mereka akan bertobat sama sekali. "Berapa banyak orang yang kita perbolehkan untuk dibunuh ketika menunggu orang yang bersalah untuk bertobat?", ia bertanya secara retoris. Menggunakan hukuman mati untuk balas dendam adalah pelanggaran atas hukum moral alami.
[Banyak pihak percaya bahwa interpretasi yang tepat dari perintah Allah tersebut adalah "Jangan melakukan kejahatan pembunuhan." Interpretasi ini mendukung kepercayaan Aquinas bahwa hukuman mati adalah sebuah tindakan yang bisa diterima sebagaimana yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang atas hal tersebut, seperti pemerintah, yang diangkat secara ilahi menurut kehendak Tuhan.]
Di bawah Paus Yohanes Paulus II, Gereja Katolik malah menganjurkan hukuman penjara daripada hukuman mati, walaupun hukuman mati tersebut masil diperbolehkan di beberapa kasus ekstrim.
Ajaran saat ini
Paul J. Surlis menulis bahwa ajaran Gereja atas hukuman mati sedang dalam peralihan. Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa hukuman mati diperbolehkan dalam kasus-kasus yang sangat parah kejahatannya. Gereja mengajarkan bahwa hukuman mati diperbolehkan hanya apabila "identitas dan tanggung-jawab pihak yang bersalah telah dipastikan sepenuhnya" dan apabila hukuman mati tersebut adalah satu-satunya jalan untuk melindungi pihak-pihak lain dari kejahatan pihak yang bersalah ini.
Namun, apabila terdapat cara lain untuk melindungi masyarakat dari "penyerang yang tidak berperi-kemanusiaan", cara-cara ini lebih dipilih daripada hukuman mati karena cara-cara ini dianggap lebih menghormati harga diri seorang manusia dan selaras dengan tujuan kebaikan bersama.
Oleh karena masyarakat jaman sekarang memungkinkan adanya cara-cara yang efektif untuk mencegah kejahatan tanpa adanya eksekusi, Katekismus menyatakan bahwa "kasus dimana eksekusi pihak yang bersalah adalah suatu keharusan 'adalah sangat jarang, bahkan bisa dibilang tidak ada sama sekali.'
Perlu dicatat bahwa, dalam pembentukan negara Vatikan pada tahun 1929, hukuman mati tidak pernah dilakukan dalam negara tersebut, suatu hal yang sangat berbeda dengan praktek-praktek yang dilakukan di jaman Negara-negara kepausan di Abad Pertengahan. Hal ini sesuai dengan posisi gereja yang lebih condong ke paham abolisionis (penghapusan hukuman mati) saat ini. Terdapat sedikit kerancuan mengenai posisi resmi pembentukan negara Vatikan ini saat beberapa catatan menyatakan bahwa negara ini mengadopsi kode hukum Italia kuno yang tidak memiliki bentuk hukuman mati dan bukannya mengadopsi kode hukum yang diseukai oleh Benito Mussolini saat hukuman mati dimulai lagi oleh sang pemimpin Fasis tersebut. Saat ini hukuman mati secara resmi dihapuskan pada tahun 1969 oleh Paus Paulus VI. Peristiwa ini yang mengindikasikan posisi resmi Gereja dari tahun 1929 hingga tahun 1969 mirip dengan apa yang terjadi di Inggris mulai dari penghapusan hukuman mati untuk kasus pembunuhan pada tahun 1965 hingga abolisi sepenuhnya pada tahun 1998.
Dalam ensiklik-nya Evangelium Vitae yang diterbitkan tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II menghapuskan status persyaratan untuk keamanan publik dari hukuman mati ini dan menyatakan bahwa, dalam masyarakat modern saat ini, hukuman mati sangat jarang dapat didukung keberadaanya.

IUSTITIA IN MUNDO IKHTIAR MEMPROMOSIKAN KEADILAN

IUSTITIA IN MUNDO
IKHTIAR MEMPROMOSIKAN KEADILAN
Tema: “Menuntut Keadilan Hukum, Meringankan Hukuman Mati”
Oleh: Selpanus Usel
A.    Latar Belakang
Pengarang dokumen Iustitia in Mundo (Ikhtiar Mempromosikan Keadilan – di dunia) adalah sinode umum para uskup, organism kolegial yang baru, yang lahir dari Konsili vatikan II. Sinode yang berkumpul (dari 30 September hingga 6 November 1971) merupakan sinode umum ketiga yang diadakan setelah Konsili Vatikan II. Sinode para Uskup, 1971, memperhatikan ketidakadilan struktural dan kebutuhan bertindak sebagai suatu komponen konstitutif pewartaan Kabar Baik. Pernyataan sinode berjudul Justice in the World. Ada dua jenis sinode. Yang pertama disebut sinode biasa, misalnya sinode tahun 1967. Yang kedua sebut sinode luar biasa (1969). Sinode 1971 adalah sinode biasa.
            Dua alasan mendasari dipanggilnya sinode biasa (1971): Pelayanan para imam; dan Keadilan di dalam dunia.
            Tema Keadilan di dalam Dunia diintroduksikan dalam sinode pada 14 Oktober 1971 melalui laporan Monsigneur Albertoy Valderrama, ketua konferensi Uskup-uskup Filipina.
            IM juga merupakan suatu dokumen yang menyuarakan terobosan baru. Salah satu terobosan yang sangat signifikan dinyatakan dalam bahasa yang lugas dan jelas, bahwa kegiatan demi keadilan…bagi kita tampak sepenuhnya sebagai suatu dimensi konstitutif pewartaan Kabar Sukacita (IM art. 6). Inilah penegasan yang paling kuat sehingga mempunyai dampak pada kegiatan demi keadilan yang merupakan bagian hakiki penginjilan Gereja dalam mengkhotbahkan Kabar Sukacita. Penegasan tersebut menjadi pokok perdebatan dalam sinode 1974, yang memusatkan perhatian pada pokok “evangelisasi”. Sejumlah orang mengatakan bahwa kata-kata dari sinode 1971 tersebut hendaknya dipahami sebagai berikut: kegiatan demi keadilan itu integral (termasuk) mewartakan Kabar Sukacita. Maksudnya kegiatan itu satu dan hanya satu dimensi dari pewartaan.
            Penggagas dan pengusul rumusan (IM art. 6) tersebut adalah Pater Vincent Cosmao, seorang Dominikan dari Perancis, anggota Komisi Kepausan Iutitia et Pax. Beliau mengklaim bahwa kata “konstitutif” digunakan “to make engagement for justice not merely an ethical deduction from faith but a very condition for the truth of faith”. Maksudnya sangat jelas, bahwa tindakan demi keadilan dalam rangka pewartaan Injil itu tidak semata-mata deduksi etis dari iman, melainkan tindakan demi keadialan itu merupakan syarat mutlak bagi kebenaran iman. Oleh karena itu, jika di dalam rangka pewartaan Sukacita tidak terjadi tindakan-tindakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, orang harus menyatakan sejujurnya bahwa di sana hanya omong kosong.
            Kedilan di dunia mencakup berbagai aspek kehidupan sosial, seperti ekonomi, politik, hukum, dll. Melihat situasi yang berkembang dewasa ini terutama situasi yang berkembang di Kalimantan Barat, yaitu isu mengenai hukuman mati dua TKI, Hiu bersaudara (Frans Hiu dan Dharry Fully Hiu) serta hukuman penjara seorang warga Negara Malaysia yang bernama Saleh atas tuduhan terlibat perdagangan manusia.
Kedua kasus hukum di atas mencuat kepermukaan karena ada idikasi terjadinya ketidakadilan hukum (penjatuhan hukuman  yang tidak berdasarkan dan atau tidak  sesuai dengan perbuatan).
            Ketidakadilan hukum yang di voniskan kepada masing-masing terdakwa di atas sudah jelas bahawa tidak sesuai dengan kesalahan yang telah mereka lakukan. Hui bersaudara dijatuhi hukuman mati  atas tuduhan pembunuhan padahal yang mereka lakukan adalah membela diri dan menjaga barang milik majikan mereka dari tangan pencuri. Sedangkan Saleh dipenjarakan atas tuduhan terlibat dalam kasus perdagangan manusia (human trafficking), padahal yang dia bawa dan mau dibuatkan paspornya tersebut adalah keponakan yang ingin dibawa bekerja di kuching sebagai penggu rumah makan miliknya.
            Oleh sebab itu Gereja sebagai Umat Allah, wajib mewujudkan panggilan untuk bertindak (Octogesima Adveniens) dalam rangka memperjuangkan keadilan (Khususnya hukum) di dalam dunia ini terutama para “kaum muda” Gereja dalam memnanggapi, menkritisi ketidakadilan hukum terhadap kasus Frans Hiu dan Dharry Frully Hiu dan Saleh.

B.     Rumusan masalah
Rumusan maslah umum:
            Bagaimana Tindakan  Gereja katolik dalam Upaya pembebasan masyarakat dari ketidakadilan (hukum)?

Rumusan masalah khusus:
1.      Bagaimana sinode yang dilaksanakan para uskup dalam upaya membela keadlian?
2.      Apa pembahasan dalam sinode yang dilangsungkan para uskup tahun 1971 khususnya yang membahas tentang ketidakadilan?
3.      Bagaimana pendapat awam dalam sinode tahun 1971?

C.     Landasan Teori
1.      Ketidakadilan Hukum
Lady Jackson, perempuan pertama yang berbicara kepada sinode tentang “Structures for World justice”. Dalam presentasinya ini Lady Jackson menganalisis tanda-tanda pelebaran jurang antara sepertiga yang kaya dan dua yang miskin. Ia mendesak orang-orang Katolik untuk mempertimbangkan kembali struktur-struktur social dan standar-standar kehidupan pribadi (agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran – hukum – dalam keseharian), dan ia meminta kepada para uskup untuk menjamin bahwa Gereja sendiri mengurus perkara dan tanggung jawabnya sendiri “dalam semangat keadilan (hokum) dan kemiskinan yang ketat”.
Dr. Condido Mendes mendiskusikan masalah “Structural Marginality,” yang mengacu pada rintangan-rintangan, lingkaran setan, distorsi, interaksi-interaksi yang mencegah semua lapisan lapisan masyarakat untuk menikmati keuntungan-keuntungan cultural, sosial, ekonomi dan melakukan pelanggaran terhadap hukum serata peng-aplikasi-annya yang tidak merata (yang kuat, dialah yang menang meskipun salah). Mendes mencatat, bahwa bangsa-bangsa sendiri menjadi “marginal” dan “non-viable” melalui ketergantungan pada agen-agen dari luar.
Sementara itu, Dr. Kinhide Mushakoji berbicara tentang “The Universal Aspiration to Participation”. Ada sinyalmen yang memperlihatkan bahwa dalam masyarakat dewasa ini (di sana-sini) muncul praktik-praktik yang sangat signifikan, terutama adanya GERAK DARI praksis para pemegang otoritas yang otoritarian-kekanak-kanakan karena mendasarkan kepada ketidaksamaan antara yang kuat dan yang lemah MENUJU suatu masyarakat baru yang partisipatif di mana semua orang mendapat bagian pemerataan tanggung jawab dan pengambilan keputusan (baik di bidang politik, cultural, ekonimi, sosial, maupun hokum) agar terciptanya suatu keadilan yang esensial.
2.      Hukuman Mati
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya dilakukan di beberapa negara, misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
·         Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala
    • Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri     listrik bertegangan tinggi
·         Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan
·         Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh
    • Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.
·         Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati
D.    Pembahasan
Zaman sekarang ini banyak kasus hukum yang tidak diselesaikan dengan adil, bahkan tidak sesuai dengan pasal yang ada. Dimana para penegak hukum memanfaatkan perannya sebagai hakim dan mafia hukum dikalangan pemerintah Indonesia.
Dengan adanya aksi-aksi para mafia hukum yang tidak terlihat disambut banyak protes dan kritik oleh masyarakat Indonesia. Maka dari itu,makalah ini hadir untuk membahas ketidakadilan di Indonesia yang tertuju pada keputusan hukum yang tidak setara dengan keadilan sosial yang adil dan beradab.
Yang menjadi permasalahan disini hukuman yang tidak setimpal dengan kesalahan yang dilakukan dan tidak adanya rasa sosial yang tinggi terhadap sesama warga Indonesia. Dan perbedan hukuman antara orang berstrata tinggi dengan orang yang melakukan kesalahan dari kalangan bawah.
Negara Indonesia memiliki pancasila yang harus di junjung tinggi agar keadila merata tidak memandang dari kalangan apapun karena setiap warga Negara berhak memperoleh Hak yang sama. Semua kalangan di Indonesia harus memperoleh perlakuan yang sama dari pemerintah, yang harus di usahakan setiap saat agar kenyamanan hukum di Indonesia merata.
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting  dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan,  Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
Tujuan Hukum
Tujuan hukum mempunyai  sifat universal seperti  ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum  maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Dalam perkembangan  fungsi hukum terdiri dari :

a.    Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan. Manusia dalam masyarakat, hukum menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk, hukum juga memberi petunjuk, sehingga segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur. Begitu pula hukum dapat memaksa agar hukum itu ditaati anggota masyarakat.
b.    Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin
Hukum mempunyai ciri memerintah dan melarang
Hukum mempunyai sifat memaksa
Hukum mempunyai daya yang mengikat fisik dan Psikologis
Karena hukum mempunyai ciri, sifat dan daya mengikat, maka hukum dapat memberi keadilan ialah dapat menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang benar.
c.    Sebagai sarana penggerak pembangunan
Daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau di daya gunakan untuk menggeraakkan pembangunan. Disini hukum dijadikanalat untuk membawa masyarakat kea rah yang lebih maju.
d.    Sebagai fungsi kritis
hukum juga menjadi alat untuk memulihkan situasi yang akut dari persoalan-persoalan yang ‘kritis” melanda setiap aspek kehidupan manusia.
E. Penutup
            1. Kesimpulan
Dalam Perjanjian Lama Allah menyatakan dirinya sendiri sebagai pembebas kaum tertindas dan pembela kaum miskin, sambil menuntut dari kita agar percaya Dia serta keadilan terhadap sesame (Keadilan di Dunia #30). Ini menunjukan bahwa Allah sungguh pembela kebenaran dan keadilan. Wujud  Allah tersebut nyata dalam tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam memperjuangkan keadilan (termasuk hukum).
Dalam kasus yang dihadapi di atas, sepatutnya lah kita sebagai orang Kristiani  memperjuankan keadilan hokum agar tidaj terjadi kasus-kasus serupa. Dengan kasih Kristiani yang ada dalam diri kita dapat memberikan contoh dalam membela keadilan dalam pewartaan Kabar Sukacita. Keterpanggillan kita untuk bertindak haruslah diwujudnyatakan guna menanggapi kebutuha-kebutuihan baru dari manusia yang berubah karena ketidakadilan yang menyolok dalam perkembangan ekonomi, budaya dan politik khususnya di Kalimantan Barat dan Indonesia serta dunia umumnya, diperlakukan usaha yang lebih besar untuk keadilan (terutama keadilan hukum) dan perdamaian.
2.      Saran
Menanggapi kasus Hiu bersaudara dan Saleh, sudah menjadi tugas serta tangguang jawab kita bersama guna membebaskan mereka dari ketidakadilan hukum. Orang-orang kristiani mengemban tugas untuk memberikan inspirasi dan membantu membenahi struktur agar menemukan kebutuhan nyata dewasa ini (OA #50). Hal tersebut menunjukan tugas-tugas kita sebagai orang katolik. Serta organisasi Kristen bertanggung jawab atas tindakan bersama demi perubahan dan keadialan (hukum) secara merata di tengah masyarakat, metreka adalah saksi karya Roh Kudus (bdk OA #51).  











DAFTAR PUSTAKA
Krisyanto, Edi. 2003. Diskursus Sosial Gereja Sejak LEO XIII. Malang: Dioma.
Octogesima Adveniens #50-51
Keadilan di Dunia #30

WWW.Google.Com