>

Selasa, 11 Maret 2014

IUSTITIA IN MUNDO IKHTIAR MEMPROMOSIKAN KEADILAN

IUSTITIA IN MUNDO
IKHTIAR MEMPROMOSIKAN KEADILAN
Tema: “Menuntut Keadilan Hukum, Meringankan Hukuman Mati”
Oleh: Selpanus Usel
A.    Latar Belakang
Pengarang dokumen Iustitia in Mundo (Ikhtiar Mempromosikan Keadilan – di dunia) adalah sinode umum para uskup, organism kolegial yang baru, yang lahir dari Konsili vatikan II. Sinode yang berkumpul (dari 30 September hingga 6 November 1971) merupakan sinode umum ketiga yang diadakan setelah Konsili Vatikan II. Sinode para Uskup, 1971, memperhatikan ketidakadilan struktural dan kebutuhan bertindak sebagai suatu komponen konstitutif pewartaan Kabar Baik. Pernyataan sinode berjudul Justice in the World. Ada dua jenis sinode. Yang pertama disebut sinode biasa, misalnya sinode tahun 1967. Yang kedua sebut sinode luar biasa (1969). Sinode 1971 adalah sinode biasa.
            Dua alasan mendasari dipanggilnya sinode biasa (1971): Pelayanan para imam; dan Keadilan di dalam dunia.
            Tema Keadilan di dalam Dunia diintroduksikan dalam sinode pada 14 Oktober 1971 melalui laporan Monsigneur Albertoy Valderrama, ketua konferensi Uskup-uskup Filipina.
            IM juga merupakan suatu dokumen yang menyuarakan terobosan baru. Salah satu terobosan yang sangat signifikan dinyatakan dalam bahasa yang lugas dan jelas, bahwa kegiatan demi keadilan…bagi kita tampak sepenuhnya sebagai suatu dimensi konstitutif pewartaan Kabar Sukacita (IM art. 6). Inilah penegasan yang paling kuat sehingga mempunyai dampak pada kegiatan demi keadilan yang merupakan bagian hakiki penginjilan Gereja dalam mengkhotbahkan Kabar Sukacita. Penegasan tersebut menjadi pokok perdebatan dalam sinode 1974, yang memusatkan perhatian pada pokok “evangelisasi”. Sejumlah orang mengatakan bahwa kata-kata dari sinode 1971 tersebut hendaknya dipahami sebagai berikut: kegiatan demi keadilan itu integral (termasuk) mewartakan Kabar Sukacita. Maksudnya kegiatan itu satu dan hanya satu dimensi dari pewartaan.
            Penggagas dan pengusul rumusan (IM art. 6) tersebut adalah Pater Vincent Cosmao, seorang Dominikan dari Perancis, anggota Komisi Kepausan Iutitia et Pax. Beliau mengklaim bahwa kata “konstitutif” digunakan “to make engagement for justice not merely an ethical deduction from faith but a very condition for the truth of faith”. Maksudnya sangat jelas, bahwa tindakan demi keadilan dalam rangka pewartaan Injil itu tidak semata-mata deduksi etis dari iman, melainkan tindakan demi keadialan itu merupakan syarat mutlak bagi kebenaran iman. Oleh karena itu, jika di dalam rangka pewartaan Sukacita tidak terjadi tindakan-tindakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, orang harus menyatakan sejujurnya bahwa di sana hanya omong kosong.
            Kedilan di dunia mencakup berbagai aspek kehidupan sosial, seperti ekonomi, politik, hukum, dll. Melihat situasi yang berkembang dewasa ini terutama situasi yang berkembang di Kalimantan Barat, yaitu isu mengenai hukuman mati dua TKI, Hiu bersaudara (Frans Hiu dan Dharry Fully Hiu) serta hukuman penjara seorang warga Negara Malaysia yang bernama Saleh atas tuduhan terlibat perdagangan manusia.
Kedua kasus hukum di atas mencuat kepermukaan karena ada idikasi terjadinya ketidakadilan hukum (penjatuhan hukuman  yang tidak berdasarkan dan atau tidak  sesuai dengan perbuatan).
            Ketidakadilan hukum yang di voniskan kepada masing-masing terdakwa di atas sudah jelas bahawa tidak sesuai dengan kesalahan yang telah mereka lakukan. Hui bersaudara dijatuhi hukuman mati  atas tuduhan pembunuhan padahal yang mereka lakukan adalah membela diri dan menjaga barang milik majikan mereka dari tangan pencuri. Sedangkan Saleh dipenjarakan atas tuduhan terlibat dalam kasus perdagangan manusia (human trafficking), padahal yang dia bawa dan mau dibuatkan paspornya tersebut adalah keponakan yang ingin dibawa bekerja di kuching sebagai penggu rumah makan miliknya.
            Oleh sebab itu Gereja sebagai Umat Allah, wajib mewujudkan panggilan untuk bertindak (Octogesima Adveniens) dalam rangka memperjuangkan keadilan (Khususnya hukum) di dalam dunia ini terutama para “kaum muda” Gereja dalam memnanggapi, menkritisi ketidakadilan hukum terhadap kasus Frans Hiu dan Dharry Frully Hiu dan Saleh.

B.     Rumusan masalah
Rumusan maslah umum:
            Bagaimana Tindakan  Gereja katolik dalam Upaya pembebasan masyarakat dari ketidakadilan (hukum)?

Rumusan masalah khusus:
1.      Bagaimana sinode yang dilaksanakan para uskup dalam upaya membela keadlian?
2.      Apa pembahasan dalam sinode yang dilangsungkan para uskup tahun 1971 khususnya yang membahas tentang ketidakadilan?
3.      Bagaimana pendapat awam dalam sinode tahun 1971?

C.     Landasan Teori
1.      Ketidakadilan Hukum
Lady Jackson, perempuan pertama yang berbicara kepada sinode tentang “Structures for World justice”. Dalam presentasinya ini Lady Jackson menganalisis tanda-tanda pelebaran jurang antara sepertiga yang kaya dan dua yang miskin. Ia mendesak orang-orang Katolik untuk mempertimbangkan kembali struktur-struktur social dan standar-standar kehidupan pribadi (agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran – hukum – dalam keseharian), dan ia meminta kepada para uskup untuk menjamin bahwa Gereja sendiri mengurus perkara dan tanggung jawabnya sendiri “dalam semangat keadilan (hokum) dan kemiskinan yang ketat”.
Dr. Condido Mendes mendiskusikan masalah “Structural Marginality,” yang mengacu pada rintangan-rintangan, lingkaran setan, distorsi, interaksi-interaksi yang mencegah semua lapisan lapisan masyarakat untuk menikmati keuntungan-keuntungan cultural, sosial, ekonomi dan melakukan pelanggaran terhadap hukum serata peng-aplikasi-annya yang tidak merata (yang kuat, dialah yang menang meskipun salah). Mendes mencatat, bahwa bangsa-bangsa sendiri menjadi “marginal” dan “non-viable” melalui ketergantungan pada agen-agen dari luar.
Sementara itu, Dr. Kinhide Mushakoji berbicara tentang “The Universal Aspiration to Participation”. Ada sinyalmen yang memperlihatkan bahwa dalam masyarakat dewasa ini (di sana-sini) muncul praktik-praktik yang sangat signifikan, terutama adanya GERAK DARI praksis para pemegang otoritas yang otoritarian-kekanak-kanakan karena mendasarkan kepada ketidaksamaan antara yang kuat dan yang lemah MENUJU suatu masyarakat baru yang partisipatif di mana semua orang mendapat bagian pemerataan tanggung jawab dan pengambilan keputusan (baik di bidang politik, cultural, ekonimi, sosial, maupun hokum) agar terciptanya suatu keadilan yang esensial.
2.      Hukuman Mati
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya dilakukan di beberapa negara, misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
·         Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala
    • Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri     listrik bertegangan tinggi
·         Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan
·         Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh
    • Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.
·         Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati
D.    Pembahasan
Zaman sekarang ini banyak kasus hukum yang tidak diselesaikan dengan adil, bahkan tidak sesuai dengan pasal yang ada. Dimana para penegak hukum memanfaatkan perannya sebagai hakim dan mafia hukum dikalangan pemerintah Indonesia.
Dengan adanya aksi-aksi para mafia hukum yang tidak terlihat disambut banyak protes dan kritik oleh masyarakat Indonesia. Maka dari itu,makalah ini hadir untuk membahas ketidakadilan di Indonesia yang tertuju pada keputusan hukum yang tidak setara dengan keadilan sosial yang adil dan beradab.
Yang menjadi permasalahan disini hukuman yang tidak setimpal dengan kesalahan yang dilakukan dan tidak adanya rasa sosial yang tinggi terhadap sesama warga Indonesia. Dan perbedan hukuman antara orang berstrata tinggi dengan orang yang melakukan kesalahan dari kalangan bawah.
Negara Indonesia memiliki pancasila yang harus di junjung tinggi agar keadila merata tidak memandang dari kalangan apapun karena setiap warga Negara berhak memperoleh Hak yang sama. Semua kalangan di Indonesia harus memperoleh perlakuan yang sama dari pemerintah, yang harus di usahakan setiap saat agar kenyamanan hukum di Indonesia merata.
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting  dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan,  Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
Tujuan Hukum
Tujuan hukum mempunyai  sifat universal seperti  ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum  maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Dalam perkembangan  fungsi hukum terdiri dari :

a.    Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan. Manusia dalam masyarakat, hukum menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk, hukum juga memberi petunjuk, sehingga segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur. Begitu pula hukum dapat memaksa agar hukum itu ditaati anggota masyarakat.
b.    Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin
Hukum mempunyai ciri memerintah dan melarang
Hukum mempunyai sifat memaksa
Hukum mempunyai daya yang mengikat fisik dan Psikologis
Karena hukum mempunyai ciri, sifat dan daya mengikat, maka hukum dapat memberi keadilan ialah dapat menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang benar.
c.    Sebagai sarana penggerak pembangunan
Daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau di daya gunakan untuk menggeraakkan pembangunan. Disini hukum dijadikanalat untuk membawa masyarakat kea rah yang lebih maju.
d.    Sebagai fungsi kritis
hukum juga menjadi alat untuk memulihkan situasi yang akut dari persoalan-persoalan yang ‘kritis” melanda setiap aspek kehidupan manusia.
E. Penutup
            1. Kesimpulan
Dalam Perjanjian Lama Allah menyatakan dirinya sendiri sebagai pembebas kaum tertindas dan pembela kaum miskin, sambil menuntut dari kita agar percaya Dia serta keadilan terhadap sesame (Keadilan di Dunia #30). Ini menunjukan bahwa Allah sungguh pembela kebenaran dan keadilan. Wujud  Allah tersebut nyata dalam tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam memperjuangkan keadilan (termasuk hukum).
Dalam kasus yang dihadapi di atas, sepatutnya lah kita sebagai orang Kristiani  memperjuankan keadilan hokum agar tidaj terjadi kasus-kasus serupa. Dengan kasih Kristiani yang ada dalam diri kita dapat memberikan contoh dalam membela keadilan dalam pewartaan Kabar Sukacita. Keterpanggillan kita untuk bertindak haruslah diwujudnyatakan guna menanggapi kebutuha-kebutuihan baru dari manusia yang berubah karena ketidakadilan yang menyolok dalam perkembangan ekonomi, budaya dan politik khususnya di Kalimantan Barat dan Indonesia serta dunia umumnya, diperlakukan usaha yang lebih besar untuk keadilan (terutama keadilan hukum) dan perdamaian.
2.      Saran
Menanggapi kasus Hiu bersaudara dan Saleh, sudah menjadi tugas serta tangguang jawab kita bersama guna membebaskan mereka dari ketidakadilan hukum. Orang-orang kristiani mengemban tugas untuk memberikan inspirasi dan membantu membenahi struktur agar menemukan kebutuhan nyata dewasa ini (OA #50). Hal tersebut menunjukan tugas-tugas kita sebagai orang katolik. Serta organisasi Kristen bertanggung jawab atas tindakan bersama demi perubahan dan keadialan (hukum) secara merata di tengah masyarakat, metreka adalah saksi karya Roh Kudus (bdk OA #51).  











DAFTAR PUSTAKA
Krisyanto, Edi. 2003. Diskursus Sosial Gereja Sejak LEO XIII. Malang: Dioma.
Octogesima Adveniens #50-51
Keadilan di Dunia #30

WWW.Google.Com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar