IUSTITIA IN MUNDO
IKHTIAR MEMPROMOSIKAN
KEADILAN
Tema: “Menuntut
Keadilan Hukum, Meringankan Hukuman Mati”
Oleh: Selpanus Usel
A. Latar
Belakang
Pengarang dokumen Iustitia in Mundo
(Ikhtiar Mempromosikan Keadilan – di dunia) adalah sinode umum para uskup, organism
kolegial yang baru, yang lahir dari Konsili vatikan II. Sinode yang berkumpul
(dari 30 September hingga 6 November 1971) merupakan sinode umum ketiga yang
diadakan setelah Konsili Vatikan II. Sinode para Uskup, 1971, memperhatikan
ketidakadilan struktural dan kebutuhan bertindak sebagai suatu komponen
konstitutif pewartaan Kabar Baik. Pernyataan sinode berjudul Justice in the World. Ada dua jenis
sinode. Yang pertama disebut sinode
biasa, misalnya sinode tahun 1967. Yang kedua sebut sinode luar biasa (1969).
Sinode 1971 adalah sinode biasa.
Dua alasan mendasari dipanggilnya
sinode biasa (1971): Pelayanan para imam;
dan Keadilan di dalam dunia.
Tema Keadilan di dalam Dunia diintroduksikan dalam sinode pada 14
Oktober 1971 melalui laporan Monsigneur Albertoy Valderrama, ketua konferensi
Uskup-uskup Filipina.
IM
juga merupakan suatu dokumen yang menyuarakan terobosan baru. Salah satu
terobosan yang sangat signifikan dinyatakan dalam bahasa yang lugas dan jelas,
bahwa kegiatan demi keadilan…bagi kita
tampak sepenuhnya sebagai suatu dimensi konstitutif pewartaan Kabar Sukacita (IM
art. 6). Inilah penegasan yang paling kuat sehingga mempunyai dampak pada
kegiatan demi keadilan yang merupakan bagian hakiki penginjilan Gereja dalam
mengkhotbahkan Kabar Sukacita. Penegasan tersebut menjadi pokok perdebatan
dalam sinode 1974, yang memusatkan perhatian pada pokok “evangelisasi”.
Sejumlah orang mengatakan bahwa kata-kata dari sinode 1971 tersebut hendaknya
dipahami sebagai berikut: kegiatan demi keadilan itu integral (termasuk)
mewartakan Kabar Sukacita. Maksudnya kegiatan itu satu dan hanya satu dimensi
dari pewartaan.
Penggagas dan pengusul
rumusan (IM art. 6) tersebut adalah Pater Vincent Cosmao, seorang Dominikan
dari Perancis, anggota Komisi Kepausan Iutitia
et Pax. Beliau mengklaim bahwa kata “konstitutif” digunakan “to make engagement for justice not merely an
ethical deduction from faith but a very condition for the truth of faith”.
Maksudnya sangat jelas, bahwa tindakan demi keadilan dalam rangka pewartaan
Injil itu tidak semata-mata deduksi etis dari iman, melainkan tindakan demi
keadialan itu merupakan syarat mutlak bagi kebenaran iman. Oleh karena itu,
jika di dalam rangka pewartaan Sukacita tidak terjadi tindakan-tindakan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, orang harus menyatakan sejujurnya bahwa
di sana hanya omong kosong.
Kedilan di dunia mencakup berbagai
aspek kehidupan sosial, seperti ekonomi, politik, hukum, dll. Melihat situasi
yang berkembang dewasa ini terutama situasi yang berkembang di Kalimantan
Barat, yaitu isu mengenai hukuman mati dua TKI, Hiu bersaudara (Frans Hiu dan
Dharry Fully Hiu) serta hukuman penjara seorang warga Negara Malaysia yang
bernama Saleh atas tuduhan terlibat perdagangan manusia.
Kedua
kasus hukum di atas mencuat kepermukaan karena ada idikasi terjadinya
ketidakadilan hukum (penjatuhan hukuman
yang tidak berdasarkan dan atau tidak
sesuai dengan perbuatan).
Ketidakadilan hukum yang di voniskan
kepada masing-masing terdakwa di atas sudah jelas bahawa tidak sesuai dengan
kesalahan yang telah mereka lakukan. Hui bersaudara dijatuhi hukuman mati atas tuduhan pembunuhan padahal yang mereka
lakukan adalah membela diri dan menjaga barang milik majikan mereka dari tangan
pencuri. Sedangkan Saleh dipenjarakan atas tuduhan terlibat dalam kasus
perdagangan manusia (human trafficking), padahal yang dia bawa dan mau
dibuatkan paspornya tersebut adalah keponakan yang ingin dibawa bekerja di
kuching sebagai penggu rumah makan miliknya.
Oleh sebab itu Gereja sebagai Umat
Allah, wajib mewujudkan panggilan untuk bertindak (Octogesima Adveniens) dalam
rangka memperjuangkan keadilan (Khususnya hukum) di dalam dunia ini terutama
para “kaum muda” Gereja dalam memnanggapi, menkritisi ketidakadilan hukum
terhadap kasus Frans Hiu dan Dharry Frully Hiu dan Saleh.
B. Rumusan
masalah
Rumusan maslah umum:
Bagaimana Tindakan Gereja katolik dalam Upaya pembebasan
masyarakat dari ketidakadilan (hukum)?
Rumusan
masalah khusus:
1. Bagaimana
sinode yang dilaksanakan para uskup dalam upaya membela keadlian?
2. Apa
pembahasan dalam sinode yang dilangsungkan para uskup tahun 1971 khususnya yang
membahas tentang ketidakadilan?
3. Bagaimana
pendapat awam dalam sinode tahun 1971?
C. Landasan
Teori
1. Ketidakadilan
Hukum
Lady
Jackson, perempuan pertama yang berbicara kepada sinode tentang “Structures
for World justice”. Dalam presentasinya ini Lady Jackson menganalisis
tanda-tanda pelebaran jurang antara sepertiga yang kaya dan dua yang miskin. Ia
mendesak orang-orang Katolik untuk mempertimbangkan kembali struktur-struktur
social dan standar-standar kehidupan pribadi (agar tidak terjadi
pelanggaran-pelanggaran – hukum – dalam keseharian), dan ia meminta kepada para
uskup untuk menjamin bahwa Gereja sendiri mengurus perkara dan tanggung
jawabnya sendiri “dalam semangat keadilan (hokum) dan kemiskinan yang ketat”.
Dr.
Condido Mendes mendiskusikan masalah “Structural Marginality,” yang
mengacu pada rintangan-rintangan, lingkaran
setan, distorsi, interaksi-interaksi yang mencegah semua lapisan lapisan
masyarakat untuk menikmati keuntungan-keuntungan cultural, sosial, ekonomi dan
melakukan pelanggaran terhadap hukum serata peng-aplikasi-annya yang tidak
merata (yang kuat, dialah yang menang meskipun salah). Mendes mencatat, bahwa
bangsa-bangsa sendiri menjadi “marginal” dan “non-viable” melalui
ketergantungan pada agen-agen dari luar.
Sementara
itu, Dr. Kinhide Mushakoji berbicara tentang “The Universal Aspiration to
Participation”. Ada sinyalmen yang memperlihatkan bahwa dalam
masyarakat dewasa ini (di sana-sini) muncul praktik-praktik yang sangat
signifikan, terutama adanya GERAK DARI praksis
para pemegang otoritas yang otoritarian-kekanak-kanakan karena mendasarkan
kepada ketidaksamaan antara yang kuat dan yang lemah MENUJU suatu masyarakat baru yang partisipatif di mana semua orang
mendapat bagian pemerataan tanggung jawab dan pengambilan keputusan (baik di
bidang politik, cultural, ekonimi, sosial, maupun hokum) agar terciptanya suatu
keadilan yang esensial.
2. Hukuman
Mati
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman
terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat
perbuatannya.
Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia.
Dari data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya dilakukan di beberapa negara,
misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan
hukuman mati:
- Sengatan
listrik: hukuman dengan
cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan tinggi
- Hukuman tembak:
hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini
terpidana harus menutup mata untuk
tidak melihat.
D. Pembahasan
Zaman sekarang ini banyak kasus hukum
yang tidak diselesaikan dengan adil, bahkan tidak sesuai dengan pasal yang ada.
Dimana para penegak hukum memanfaatkan perannya sebagai hakim dan mafia hukum
dikalangan pemerintah Indonesia.
Dengan adanya aksi-aksi para mafia hukum
yang tidak terlihat disambut banyak protes dan kritik oleh masyarakat
Indonesia. Maka dari itu,makalah ini hadir untuk membahas ketidakadilan di
Indonesia yang tertuju pada keputusan hukum yang tidak setara dengan keadilan
sosial yang adil dan beradab.
Yang menjadi permasalahan disini hukuman
yang tidak setimpal dengan kesalahan yang dilakukan dan tidak adanya rasa
sosial yang tinggi terhadap sesama warga Indonesia. Dan perbedan hukuman antara
orang berstrata tinggi dengan orang yang melakukan kesalahan dari kalangan
bawah.
Negara Indonesia memiliki pancasila yang
harus di junjung tinggi agar keadila merata tidak memandang dari kalangan
apapun karena setiap warga Negara berhak memperoleh Hak yang sama. Semua
kalangan di Indonesia harus memperoleh perlakuan yang sama dari pemerintah,
yang harus di usahakan setiap saat agar kenyamanan hukum di Indonesia merata.
Hukum
adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia
agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting
dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, Hukum
mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh
karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum
sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan
menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
Tujuan Hukum
Tujuan
hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketenteraman,
kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat.
Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses
pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang
tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Dalam
perkembangan fungsi hukum terdiri dari :
a.
Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
Hukum
sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan. Manusia dalam masyarakat,
hukum menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk, hukum juga memberi petunjuk,
sehingga segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur. Begitu pula hukum dapat
memaksa agar hukum itu ditaati anggota masyarakat.
b.
Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin
Hukum
mempunyai ciri memerintah dan melarang
Hukum
mempunyai sifat memaksa
Hukum
mempunyai daya yang mengikat fisik dan Psikologis
Karena
hukum mempunyai ciri, sifat dan daya mengikat, maka hukum dapat memberi
keadilan ialah dapat menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang benar.
c.
Sebagai sarana penggerak pembangunan
Daya
mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau di daya gunakan untuk
menggeraakkan pembangunan. Disini hukum dijadikanalat untuk membawa masyarakat
kea rah yang lebih maju.
d. Sebagai fungsi kritis
hukum
juga menjadi alat untuk memulihkan situasi yang akut dari persoalan-persoalan
yang ‘kritis” melanda setiap aspek kehidupan manusia.
E. Penutup
1. Kesimpulan
Dalam Perjanjian Lama Allah
menyatakan dirinya sendiri sebagai pembebas kaum tertindas dan pembela kaum
miskin, sambil menuntut dari kita agar percaya Dia serta keadilan terhadap
sesame (Keadilan di Dunia #30). Ini menunjukan bahwa Allah sungguh pembela
kebenaran dan keadilan. Wujud Allah
tersebut nyata dalam tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam memperjuangkan
keadilan (termasuk hukum).
Dalam kasus yang dihadapi di atas,
sepatutnya lah kita sebagai orang Kristiani
memperjuankan keadilan hokum agar tidaj terjadi kasus-kasus serupa.
Dengan kasih Kristiani yang ada dalam diri kita dapat memberikan contoh dalam membela
keadilan dalam pewartaan Kabar Sukacita. Keterpanggillan kita untuk bertindak
haruslah diwujudnyatakan guna menanggapi kebutuha-kebutuihan baru dari manusia
yang berubah karena ketidakadilan yang menyolok dalam perkembangan ekonomi,
budaya dan politik khususnya di Kalimantan Barat dan Indonesia serta dunia
umumnya, diperlakukan usaha yang lebih besar untuk keadilan (terutama keadilan
hukum) dan perdamaian.
2. Saran
Menanggapi kasus Hiu bersaudara dan
Saleh, sudah menjadi tugas serta tangguang jawab kita bersama guna membebaskan
mereka dari ketidakadilan hukum. Orang-orang kristiani mengemban tugas untuk
memberikan inspirasi dan membantu membenahi struktur agar menemukan kebutuhan
nyata dewasa ini (OA #50). Hal tersebut menunjukan tugas-tugas kita sebagai
orang katolik. Serta organisasi Kristen bertanggung jawab atas tindakan bersama
demi perubahan dan keadialan (hukum) secara merata di tengah masyarakat,
metreka adalah saksi karya Roh Kudus (bdk
OA #51).
DAFTAR
PUSTAKA
Krisyanto,
Edi. 2003. Diskursus Sosial Gereja Sejak
LEO XIII. Malang: Dioma.
Octogesima
Adveniens #50-51
Keadilan
di Dunia #30
WWW.Google.Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar